Diksi-co.id, Banyuwangi
Permintaan kepala desa se Indonesia agar ditambah dari 6 tahun dengan 3 kali periode masa jabatan menjadi 9 tahun dengan 2 periode mulai direaksi oleh elemen masyarakat. Penolakan dari tersebut muncul karena dianggap terlalu berlebihan jika kades meminta masa jabatannya diperpanjang.
Salah satu elemen masyarakat yang menolak adalah kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK GMNI) Bakti Indonesia.
Seperti diungkapkan oleh Ketua DPK GMNI Bakti Indonesia Abdul Konik. Menurutnya aksi unjuk rasa kades yang menuntut perpanjang masa jabatan itu bukanlah permasalahan yang mendesak dilakukan.
“Saya rasa itu bukan permasalahan yang harus dipecahkan, jika para kades menganggap kinerjanya kurang efektif karena keterbatasan masa jabatan itu bukanlah alasan yang tepat,” katanya, Kamis (19/1/2023).
Pihaknya juga menganggap itu bukan keinginan rakyat, karena rakyat hanya tahu tentang bagaimana pelayanan dan juga pembangunan. Terlebih terkait alasan kecilnya dana desa sehingga pembangunan di desa tidak maksimal dianggapnya tidak masuk akal.
“Kalau anggaran kades yang sebesar kisaran di 2 M lebih itu digunakan dengan transparan maka dalam 5 tahun saja sudah bisa terselesaikan, belum lagi adanya pokir dari DPRD yang dapat membantu perkembangan pembangunan desa,” Imbuhnya.
Konik mengatakan sudah sebuah keharusan semua kades saat menjabat orientasinya pengabdian, maka semua akan terselenggara dengan baik.
“Meskipun 6 tahun dalam jabatan ketika dicintai rakyatnya maka periode selanjutnya pasti akan dipilih lagi, jadi tidak perlu khawatir,” katanya.
Konik menduga dengan adanya penambahan masa jabatan tersebut rentan dengan praktek korupsi dan memunculkan kembali dinasti kepemimpinan.
“Jangan jangan mereka gak mau kepemimpinannya diteruskan orang lain karena dalam menjabat sebagai kades masyarakat menilai kinerjanya tidak maksimal,” ucapnya.
Mahasiswa yang juga menjabat Wakil Presiden BEM demisioner Kampus UBI mencurigai anggaran yang dikelola kades tidak transparan bahkan diselewengkan sehingga banyak program yang tidak tepat sasaran.
Yang membuat konflik politik justru kadesnya sendiri, contohnya program yang di canangkan sejak kampanye tidak efektif dan juga terkadang hanya timsesnya saja yang diberikan akses,” Tukasnya. (Aad)