Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Tulisan ini tidak membahas strategi pemenangan Pilkada. Tidak menjual rumus dan resep mendongkrak elektabilitas. Bukan pula dibuat sebagai narasi menyanjung para paslon. Apalagi sebagai materi konsumsi yang memberikan angin segar bagi Tim Sukses. Bisa jadi tidak menarik bagi politisi dan pendukung para pihak.
Opini ini sebatas abstraksi fakta dan peristiwa. Dikunyah oleh proses epistem. Diformulasi dalam konstruksi science. Diharapkan menjadi rahim proposisi guna mengukur potret demokrasi seputar kita, sehingga menjadi cermin besar dalam ranah aksiologis. Menabur manfaat sebagai kontrol. Menanamkan rambu-rambu etis normatif. Wahana kendali geliat kepentingan yang saling bertabrakan. Pada gilirannya cermin besar yang dimaksudkan mengejawantah dalam bentuknya sebagai narasi evaluatif atas perilaku politik.
Dalam khasanah literasi, terdapat tiga rumpun ilmu hasil rekomendasi Unesco. Ilmu alamiah, sosial dan humaniora. Sementara demokrasi ada dalam irisan ilmu sosial dan humaniora. Irisan itu nampak dalam ranah prilaku berkompetisi pendukung paslon (sosiologi), formasi struktural penggantian / keberlanjutan elit pemimpin (politik kekuasaan), bahasa dan budaya komunikasi (humaniora), geliat fluktuatif income dan produk (ekonomi), persuasif minat afiliatif (psycologi) serta mesin penggerak (anthropologi dan simbol agamis).
Ragam irisan di atas secara sistemik menjadi karakter entitas. Terlembaga menjadi fakta peristiwa. Demokrasi namanya. Korelasi dengan aktualita isu, secara normatif demokrasi itu mewujud dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Terjadi dalam lingkup Provinsi dan Kabupaten / Kota untuk memilih Paslon Gubernur / Bupati / Walikota. Aneka peristiwa dalam Pilkada melahirkan hukum dialektika dengan peradabannya sendiri. Peradaban semacam ini merupakan objek Laboratorium Tertib Sosial (Lab) yang melahirkan proposisi dalam kerangka science.
Ketika Pilkada adalah Lab, maka di dalamnya lekat dengan aktifitas eksperimental. Diawali dengan hipotesa sebagai pengarah aspek epistem bekerja. Melahirkan ragam proposisi logis dalam relasi korespondensi positivistik. Ilustrasi yang masuk akal dapat digambarkan dengan Proposisi Science : Logam jika dipanaskan akan memuai. Proposisi ini lahir karena beragam jenis logam jika dipanaskan dimanapun akan menimbulkan reaksi sama. Memuai.
Dalam kerangka science, melalui Pilkada sebagai lab akan melahirkan kaleidoscope perilaku dalam level akar rumput. Science berarti metodis. Perspektif analisisnya dilakukan dalam posisi eksternal. Tipikalitasnya empiris. Menjunjung objektifitas yang dituangkan secara diskriptif. Berkarakter memisahkan perilaku dan norma mengingat empirically menempatkan ilmu lepas dari nilai.
Dengan kata lain, politik menjadi terpisah dengan norma karena prilaku politik bukan prilaku normatif. Tak heran dalam konteks demikian lahir beragam kredo sebagai mantra politik lepas kritik. Mendapatkan justifikasi benar dari masa ke masa. Kredo dimaksud antara lain, ‘politik menghalalkan segala cara’, ‘fox populi fox dei (suara banyak orang sebagai representasi Tuhan)’, ‘dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi’ dan seterusnya. Semuanya merupakan proposisi dari Lab Tertib Sosial dalam siklus rezim. Tak ada yang berminat membantah, apalagi mematahkannya guna melahirkan propisisi baru.
Lantas apa saja dan bagaimana fakta, peristiwa dan semua dinamika menemukan bentuknya dalam Pilkada sebagai Laboratorium Tertib Sosial ? Kemudian, sejauhmana kesadaran politik orang memanfaatkan akses pengambilan keputusan menentukan formasi struktural di daerahnya ? Dua Kalimat tadi merupakan pertanyaan kunci yang mengarahkan formulasi guna membidani lahirnya proposisi.
Rentang waktu jelang Pilkada tahun 2024, siapapun tidak bisa memisahkan aksinya dalam format digital. Efektif dan efisien meskipun sarat dengan kreasi artificial intellegence (AT) yang tidak disadari pengguna. Lalulintas produk cenderung bukan identitas prima. Namun demikian sangat persisi mewakili wujudnya sebagai pesan. Persuasif menjadi propaganda, akurat terhadap target dan dahsyat membangun opini.
Melalui gadget di tangan, orientasi berpikir tiap orang per-detik bisa berubah. Kebencian mudah diciptakan. Simpatik direkayasa apik. Data terbuka untuk dirubah. Fakta memungkinkan ditata untuk menyembunyikan realitas yang sebenarnya. Saat ini manusia berada dalam potensi tipu daya sebagai realitas penerima akibat (dependent variabel) oleh tekhnologi sebagai alat. Sementara manusia dengan sahwat kepentingannya adalah otoritas penyebab yang lajim disebut independent variabel.
Tengok HP setiap saat. Jelang Pilkada, lalulintas obrolan terbelah dalam dikotomi Paslonku dan Paslonmu. Aib menjadi komoditas demokrasi. Etika seolah tidak berarti. Berlomba membuka aurat personal untuk menyulut emosional. Kompetisi diwarnai saling caci berujung benci. Saling cakar amarah terbakar. Fakta demikian tidak gampang dibendung oleh rambu-rambu etika dan kesedapan berkomunikasi. Logika disimpan dalam ketiak, interaksi menjadi tidak berakhlak. Whatsapp menjadi sampah media yang terus beranak pinak. Sah-sah saja memang, karena para pihak melansir fakta. Terlepas akan keabsahan substansi dan sumber berita.
Dalam format digital, perilaku dalam bingkai Pilkada dikuliti dalam perspektif lintas displin namun abai terhadap kaidah. Lalulintas obrolan mengalir begitu saja dan unik jadinya. Logika dilawan moralitas. Akal sehat dinegasikan konsensus. Adab diposisikan tanpa landasan ilmu. Sementara pemikiran jaman Yunani dirias kembali, dipaksakan sebagai narasi penangkal dalam dialektika guna membangun kesan gagah dan cendekia. Menyitir banyak pendapat dari pemikir kuno, melansir banyak judul buku sebagai sumber referensi dalam diskusi agar dinilai hebat, hingga lupa diri kalau dirinya tidak memiliki pendapat dan akal sehat.
Sesat logika tak terelakkan. Argumentasi menegasikan teori. Tak heran atas pertimbangan menjustifikasi pendapat, para pihak mengungkapkan pikiran orang. Tokoh ternama, politisi, pelaku sejarah hingga ulama dan agamawan. Padahal substansi pikiran mereka tak selalu pas dengan keadaan sehingga terjadi argumentum ad populum. Mengamini pendapat orang bukan karena bobot pendapatnya, namun karena popularitas orang itu yang diposisikan sumber referensi.
Bahkan kerapkali dijumpai strategi komunikasi untuk sembunyi mensiasati fakta dan kenyataan. Ketika obrolan menjepit lidah dan mengurung nalar, sementara argumentasi terkuras, tak segan yang bersangkutan melakukan alih isu dengan mencari figur lain guna mencari alasan pembenar. Tidak berlebihan jika hal ini merupakan refleksi psikis. Akumalasi kekhawatiran namun miskin amunisi untuk bertahan. Lucu. Namun kelucuan ini tak mudah ditangkap oleh perspektif awam.
Epistem Pilkada terus bekerja hingga mencatat tantangan keaktoran sebagai refleksi kejiwaan dalam format digital. Bersandiwara untuk mendapatkan kontraprestasi sehingga terjadi multi narasi. Sok bijak, dengan narasi kearifan usang yang terus dirawat. Sementara khalayak mengantongi esensi di baliknya. Sok berani, namun miskin simpati karena menyimpan arogansi. Sok melawan, namun tak diimbangi dengan proteksi logis yang menawan. Semua berupaya memainkan pesona tarian yang luar biasa. Namun ketika applaus penonton tak kunjung tiba, justru berpikir hendak membakar panggungnya.
Itulah fakta peristiwa seputar kita dalam memaknai Pilkada. Pembaca dengan otoritasnya terbuka ruang menentukan proposisi yang pas untuk semua ini. Apakah semangat yang tergambar di atas secara serta merta linier dengan tingkat partisipasi publik untuk datang ke bilik ataukah sebatas caci maki setelah itu mati suri? Wallahu alam bissawab.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung