Diksi.co.id, Probolinggo | Komplotan sindikat manipulasi nomor perdana telepon selular (ponsel) dan data administrasi kependudukan (adminduk) tak berkutik, saat ditangkap anggota Polres Probolinggo.
Polisi menangkap para tersangka di konter atau kios penjualan nomor perdana seluler tempat mereka beroperasi. Komplotan itu beranggotakan enam orang pelaku.
Seorang perangkat desa yang mempunyai akses untuk mendapatkan data adminduk masuk dalam jaringan ini. Tersangka ikut diamankan polisi.
Sejumlah barang bukti seperti, SIM box sebagai perangkat untuk memanipulasi nomor ponsel dari pengguna ke penerima juga berhasil disita dari tangan para pelaku.
“Ini termasuk kejahatan baru di Indonesia, termasuk di Probolinggo baru pertama kali terjadi,” ujar Kapolres Probolinggo Kota, AKBP Wadi Sa’bani, Rabu (12/04/2023).
AKBP Wadi Sa’bani mengatakan, bentuk kejahatan yang dilakukan sindikat ini, asal-muasal buzzer-RP yang sering berkomentar negatif di platform sosial media.
Juga pemicu munculnya akun-akun anonim, penipuan online yang pelakunya bahkan dari belahan benua lain.
Wadi juga menyebut data adminduk yang disalahgunakan para pelaku sering kali dipergunakan untuk membobol pinjaman online atau pinjol.

Maka kerap terjadi ada seseorang yang tiba-tiba dikejar-kejar pihak pinjol, padahal dirinya tidak pernah melakukan pinjaman.
“Padahal yang bersangkutan tidak pernah berususan dengan pinjol. Jadi kejahatan yang memanfaatkan teknologi informasi inilah yang dijalankan sindikat ini,” jelasnya.
Modus yang dijalankan sindikat ini, mengaktifkan (registrasi) ribuan kartu perdana ponsel dengan memanfaatkan data adminduk. Kartu ponsel hingga kode One Time-Password (OTP)-nya kemudian dijual ke luar negeri.
“Kode OTP adalah kode password yang hanya bersifat sementara, yang ditujukan untuk melakukan proses verifikasi pada aplikasi smartphone. “Ternyata kode OTP ini dijual melalui website di Rusia,”ucap Wadi Sa’bani.
Lebih jauh, Wadi Sa’bani mengatakan, enam anggota sindikat ini akhirya diringkus. Yakni, AA, 25 tahun, warga Desa Tempuran, Kecamatan Bantaran, Kabupaten Probolinggo dan YS (34), warga Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo.
Kemudian CD, 26 tahun, warga Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo dan ES, 35 tahun, warga Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, FH, 38 tahun, warga Desa Kedungmangu, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, dan M, 28 tahun, warga Kecamatan Bantaran, Kabupaten Probolinggo.
“Keenam pelaku ditangkap, saat polisi menyelidiki dugaan manipulasi kartu perdana ponsel di sebuah kios di Probolinggo. Polisi akhirnya mendapatkan informasi dari MA, warga Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo bahwa ia telah membeli kartu perdana ponsel yang telah diregistrasi,”tuturnya.
Dari hasil interogasi, polisi berlanjut mendatangi konter penjualan kartu ponsel milik AA, warga Desa Tempurtan, Kecamatan Bantaran, Kabupaten Probolinggo.
“Di tempat tersebut, polisi menemukan AA yang sedang meregistrasi kartu perdana,” kata kapolres.
AA pun diamankan beserta sejumlah barang bukti seperti, alat registrasi mulai dari laptop dan komputer yang terhubung dengan SIM box yang berisi kartu-kartu perdana, serta beberapa boks kartu perdana.
Kartu-kartu perdana itu sudah teregistrasi aktif dengan data adminduk milik orang lain.
Dari hasil pemeriksaan, AA meregistrasi dan menjual kartu perdana dengan menggunakan data orang lain.
Selanjutnya AA menjual kode OTP kartu perdana tersebut melalui website di Rusia secara online.
“Dari pengakuan AA, polisi mengembagkan penyelidikan dengan menangkap YS, Senin, 3 April 2023. Dari tangan AA, polisi mengamankan SIM box dan kartu-kartu perdana ponsel yang telah diregistrasi. Kami kemudian meringkus ED dan CD warga Sidoarjo yang juga menyuplai kartu perdana,” terang Wadi Sa’bani.
Polisi juga menangkap FH di Kabupaten Bogor, yang diduga kuat sebagai penyedia SIM box sekaligus penjual kode OTP. FH pula yang mengajari AA untuk menjual kode OTP via website ke Rusia.
Pelaku M seorang perangkat desa di Kecamatan Bantaran, tersangka terakhir yang ditangkap polisi. M inilah yang menyuplai data Adminduk kepada tersangka AA.
“M yang perangkat desa punya kemampuan mendapatkan data administrasi kependudukan. Bahkan, menjual data kependudukan Rp300 ribu per desa,” sebut Wadi.
Para pelaku akan dijerat pasal 35 junto pasal 51 ayat 1 UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pasal 77 junto 94 UU RI Nomor 24 tahun 2017 tentang Administrasi Kependudukan junto pasal 55 KUHP.
“Mereka terancam hukuman 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp12 miliar,”pungkasnya.(mhd).