Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H., M.H., C.Med
Tak ubahnya penari, sungguh eksotis berekspresi. Glowing, merona bertabur pernik asesori. Disain busananya warna-warni, berikut selendang menyertai. Bertamu dari pintu ke pintu. Mengumbar senyum. Percaya diri melangkah melakonkan totalitas citra diri.
Menjalankan peran instan demi selera Sang Tuan. Para penari itu tak bermaksud mencari uang. Bukan juga pengasong. Aksi mereka hanya menebar kepercayaan, dan mati-matian menanamkan keyakinan. Gemulai menggerakkan lentik jemari. Melangkah pasti meskipun tanpa gamelan atau mini orkestra yang bisa menyulap keadaan.
Sesekali ada haru biru isak tangis. Saat tertentu terdengar lantang ucapan dramatis. Dengan percaya diri sembari menepuk dada, diantara penari teriak, ‘aku adalah bagian dari Sang Tuan…’. Tak ada respon tepuk tangan. Apalagi saweran. Sunyi. Anehnya, Sang Tuan tidak merasa terhibur. Justru sinis penuh lidik memandang. Para penari itu datang dengan sopan, pulang memikul harapan. Setelahnya, media memberitakan. Lantas masyarakat membicarakan.
Itulah drama jelang pilkada. Fenomena musiman yang disebut dengan pesta demokrasi daerah. Ilustrasi di atas tak lebih sebagai potret kejadian. Tontonan yang tak menimbulan getaran esoterik, namun sebaliknya, membuka pintu kritik. Kini, para bakal calon bupati (bacabup) tengah berkompetisi. Menari nari di altar Pilkada. Bukan untuk menjadi bupati, tetapi berebut tiket rekomendasi. Bersafari menemui elit partai politik, dengan berbagai taktik.
Interaktif, tapi tak jelas, apakah Sang Tuan mengharap program atau cuan. Tak pasti, apakah transaksi soal gagasan yang layak jual ataukah sebatas prosesi basa-basi di awal. Penari dan Sang Tuan adalah para pihak. Mengikatkan diri dalam relasi kontrak. Melahirkan kewajiban dan hak. Mereka adalah korban keadaan karena konvensi normatif melembagakan kebiasaan. Tanpa rekomendasi parpol, keinginan menjadi bupati hanya mimpi di siang hari. Sementara jalur independen dibuat dalam format double strategy. Dibolehkan namun tak semudah membalik telapak tangan. Tidak dilarang namun tidak gampang diwujudkan.
Kenyataan demikian melahirkan proposisi logic yang disebut dengan Supremasi Parpol. Menegasikan kehendak khalayak dan menempatkan parpol sebagai penentu. Parpol pemilik otoritas tunggal sehingga supremasi rakyat menjadi tanggal. Rakyat tak lagi menjadi penentu alur pesta. Rakyat diposisikan sebagai legitimasi pemilihan. Pilkada pada gilirannya bukan lagi hajat orang banyak karena hulu penentunya ada di tangan parpol. Demokrasi menjadi setengah hati. Setelah itu terbujur mati dalam keranda negosiasi. Parpol kehilangan fungsinya sebagai jembatan aspirasi. Parpol telah memangkas akar demokrasi. Parpol telah menjadi bagian dari oligarki yang bergerak atas kehendak konsensus dan imajinasi.
Ada dua arus visioner sebagai fakta pilkada. Melanjutkan program dalam kaveling petahana dan komitmen perubahan yang diemban calon pendatang. Hanya saja dalam tataran aksi, visi besar yang dimaksudkan tidak melekat pada bacabup. Tidak ada slogan, apalagi gambaran program. Hendak ke mana daerah ini akan di bawa, ke arah mana Jember akan ditata? Tidak tercermin menjadi identitas primer bacabup sebagai kandidat pelayan publik. Beragam baner hanya memantulkan gambar, tapi tidak menampakkan potret diri yang membangun mimpi besar.
Di setiap sudut kota dan pelosok daerah masyarakat curhat dan terus meng-gibah. Melahirkan multi isu dan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab oleh bacabup. KKN mewarnai, hujan sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) terhadap pejabat terus menghantui. Alun-alun tak terurus, menekan stunting tidak fokus. Upah pekerja di bawah UMK, lapas di pojok alun-alun menunggu pengusaha. Buruh terus meradang, sementara potensi tambang tak diperhatikan. Kampanye ketahanan pangan diaktifkan, namun Regulasi RT- RW justru menjadi objek pelanggaran. Rotasi staf dan ASN dilakukan, namun sentimen lebih dikedepankan. UMKM digalakkan, sementara keindahan alun-alun diabaikan. Pengembangan wisata masih sebatas konsep tanpa regulasi sebagai resep. Sementara mesin birokrasi tak henti ‘dimainkan’ sehingga melahirkan banyak kurban.
Golkar mendeklarasikan APBD untuk Rakyat. Mantaf. Pegiat demokrasi menarasikan ‘Selamatkan Jember’. Cermat. Cukup cerdas menggali celah, namun tidak total mengkomunikasikan. Ada Manifesto Politik sebagai bingkai mencari pemimpin, namun peruntukan dan sosialisasinya salah setting. Jember tengah terhisab soal kalah-menang. Tata kelola pilkada diabaikan, integritas penyelenggara menjadi nomor sekian. Miskin multipolarisasi isu, nihil strategi pengembangan, mandul dialektika, dan kering kompetisi gagasan.
Faida comeback, Hendik melanjutkan, Gus Fawait (GF) perubahan. Tema itu menjadi headline surat kabar akhir-akhir ini meskipun tidak mudah dipahami karena suwung tanpa isi. Belum ada program konkrit. Hanya GF yang bisa dibaca karena memiliki Rumah Cinta dalam Terang Shalawat. Rumah cinta adalah abstraksi gelagat niat. Landasan visi-misi dan fundamen operasional aksi. Ditampilkan dalam penampakan pink sebagai warna ikonik. GF telah memahami arti penting potret diri. Simbol sinopsis Jember ke depan.
Cinta ada di ranah hati. Cinta adalah representasi totalitas tanpa kecuali. Cinta menemukan jalannya sendiri yang terikat dengan akar logika. Tak heran jika Agnes Monicapun tak mampu membantahnya sehingga dari syair lagunya menyampaikan pesan ‘….cinta kadang-kadang tak ada logika…’ Kata ‘kadang-kadang’ menyimpan makna bahwa logika tak bisa dipisahkan secara absolut sebagai kekuatan cinta. GF memiliki cinta tanpa pretensi mencarinya karena causalitas tabur tuai.
Cinta merupakan atmosfir. Signifikan terhadap hidup dan kehidupan. Keberadaan cinta merupakan sumber definisi dan fondasi berbagai bidang. Cinta ada pada ranah politik karena cinta secara fungsional menjadi dasar humanisme dan keadilan. Cinta juga melekat pada esensi demokrasi sebagai wahana emosional membangun harmoni. Cinta tak bisa didefinisikan karena substansinya melebihi pengertian cinta itu sendiri.
Rumah Cinta GF adalah simbol komitmen untuk memimpin. Memanusiakan manusia dan memberikan ruang kepada khalayak guna mewujudkan cintanya. Jember butuh cinta, bukan arogansi pesta yang menyesakkan dada. Jember mengedepankan cinta untuk membangun kepastian sebagai aturan main setiap kebijakan. Jember mengutamakan cinta untuk menindaklanjuti keluh kesah masyarakat yang tinggal di pelosok sana. Jember tak bisa melepas cinta untuk merawat cinta itu sendiri.
Rumah Cinta GF lebih dari sekedar tempat peristirahatan. Rumah Cinta GF adalah energi causa prima. Pintu Rumah Cinta GF selalu terbuka dengan kritik, saran, masukan, cacian, hingga titipan gagasan. Dengan Rumah Cinta, semua material akan melebur karena hakikat Rumah Cinta adalah lautan. Di lautan beragam komponen hitam-putih, wangi-busuk, baik-jahat, bisa masuk. Namun jangan lupa, air laut itu tetap suci dan mensucikan. Siapapun dan kapanpun urgen membangun rumah cinta untuk Jember Harmoni, Manusiawi dan Berwibawa. Tak harus dengan dendang shalawat. Rock, pop, dangdut, blues, bosas, adalah opsi genre yang bisa melengkapi rumah cinta karena Tuhan maha demokratis dengan beragam aliran. Salam Eksotika.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Orda Jember dan Mediator berlisensi Mahkamah Agung.