Sabtu, Juni 7, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Gratifikasi, Terendus Tak Bisa Ditembus

Penulis : Martin Rachmanto *)

Gratifikasi kadang seperti kentut. Tidak kasat mata, tapi menyebar aroma tak sedap. Bisa diendus, namun tak gampang ditembus. Apalagi jika modusnya dalam ranah simbiosis mutualistis. Saling membutuhkan sehingga kepentingan lebih mengedepan. Terus berulang, tak sadar dilestarikan. Tak heran menjadi budaya.

Para pihak tak lagi ada rasa malu. Apalagi bersalah. Realitas semacam ini acapkali terjadi dalam relasi borong kerja. Pengusaha jasa konstruksi (Kontraktor) setor nominal, oknum pejabat menerima dan menganggap sebagai amal. Amal ada dalam dimensi moral. Tidak butuh catatan, apalagi pertanggungjawaban. Karenanya, tidak berlebihan jika gratifikasi disebut ekstra nominal.

Dahsyatnya, justru gratifikasi dapat merawat akal guna mengikat kepentingan dan pertimbangan pengambilan keputusan atas kelancaran proses yang diharapkan.

Hukum tidak mudah menindak persengkongkolan gratifikasi. Terutama di bidang jasa konstruksi. Kontraktor seolah tak lagi berelasi dengan pemerintah. Tidak mungkin lembaga penyelenggara negara (pemerintah) melakukan aksi eksploitasi yang menabrak norma.

Pemerintah tak bisa korupsi. Pemerintah adalah abstraksi. Tidak punya naluri. Namun individu pejabat sebagai pemangku kepentingan turut andil mengaburkan term pemerintah seolah subjek pelaku perbuatan melawan hukum. Menoreh citra negatif. Tidak mudah dipulihkan kembali.

Tidak salah jika sementara orang menyebut bahwa Kontraktor bukan mitra pemerintah. Lah kok begitu ? Istilah mitra identik dengan posisi sama dan seimbang. Terikat hak dan kewajiban sebagai aturan main. Kontraktor tak lagi sekeren orang menyebutnya. Secara faktual Kontraktor
memang pengusaha kontruksi. Tapi dalam posisi sub-ordinasi. Terus dieksploitasi. Kontraktor tak lebih hanya kumpulan orang. Tangan kiri menengadah, tangan kanan dalam saku celana. Bersiap memberi upeti. Kontraktor “mengemis” dengan harapan hadiah pekerjaan sekalipun harus menyetorkan sejumlah nominal gratifikasi. Kontradiktif. Tak seindah bayangan orang.

Padahal untuk membuat kesinambungan ekonomi dalam pembangunan idealnya antara pemerintah dan pengusaha dibutuhkan komunikasi yang tepat agar tujuan pembangunan secara ekonomi adil dan merata dapat tercapai.

Tetapi pengusaha memilih bungkam atas ketidak adilan itu. Pilihan tidak menyebutkan adanya gratifikasi tak lebih karena kebutuhan memenuhi hajat hidup wajib dilaksanakan. Hal itu disebabkan lantaran pengusaha takut kehilangan proyeknya karena pihak pengguna jasa akan meniadakan nama-nama badan usaha berikut pengusahanya jika sampai menyebarluaskan prihal gratifikasi itu. Keji, culas dan menyakitkan.

Logis jika hasil pekerjaan bidang konstruksi tak memenuhi spesifikasi teknis yang disyaratkan karena sudah terpotong biaya gratifikasi.

Ada bukti gratifikasi itu ? sampai detik ini bukti gratifikasi hanya berupa data. Tak mampu dijadikan fakta karena semua pihak bungkam. Prosentase gratifikasi 10 % sampai dengan 25 % hanya bisa didapati beritanya dari mulut ke mulut ketika pengusaha menyetorkan gratifikasi dalam bentuk uang tunai ataupun cek. Dinamika relasi dalam inkonsistensi terhadap aturan tidak semua bisa dibuktikan. Perbuatan melawan hukum telah menjadi konsensus. Rasa sakit tentu ada. Tak ubahnya instruktur Rambo. Ketika menanamkan abai terhadap rasa sakit yang mencabik di medan perang.

Gratifikasi memiliki metodenya. Beragam cara dan siasat. Gratifikasi itu disetorkan kepada pengepul dan atau seseorang yang dipercaya pengguna jasa konstruksi. Fungsinya sebagai komunikator dan kordinator aksi. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar pengguna jasa, bebas dari jeratan hukum.

Opini terus berkembang. Beragam sumber menyebutkan. Patut dicatat bahkan patut diduga gratifikasi juga terjadi di Kabupaten Jember. Mungkin juga di kabupaten lainnya.

Lalu kenapa pihak penegak hukum tidak bertindak ?

Secara moral dan fungsional penegak hukum memiliki komitmen dan berusaha konsisten mewujudkan penegakan. Namun mengungkap bukti tidak semudah membalik telapak tangan. Penegak hukum akan dituding overlap meski melaksanakan tindakan pencegahan dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasalnya tak ada bukti nyata guna dijadikan fakta sebagai dasar tindakan untuk menjeratnya.

Sementara gerakan menolak proyek penunjukan langsung tak mungkin dilakukan oleh pengusaha. Karena kontroversi munculnya dari pengusaha itu sendiri. Sepuluh pengusaha menolak, seratus pengusaha menerima syarat gratifikasi, maka ‘kebijakan’ akan jalan terus. Melapor tidak punya bukti, bahkan terancam terancam KUHP padal 310/311 perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik personal atau institusi.
Lantas siapa yang dapat meniadakan gratifikasi jasa konstruksi di negeri ini ? Pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumah Rakyat Nomor1410/KPTS/M/2020 Tentang Asosiasi Jasa Konstruksi, Asosiasi Profesi dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok Jasa Konstruksi Terakreditasi, telah memberi ruang terhadap : GAPENSI, ASKONAS, ASPEKNAS, GAPEKSINDO, GAPEKNAS, ASPEKINDO sebagai media komunikasi sekaligus wahana profesionalitas. Lantas, mampukan beragam lembaga tersebut mereposisi jasa konstruksi untuk tidak menjadi pengemis. Hanya aspal di sepanjang jalan yang dapat menjawabnya.

*) Praktisi Jasa Konstruksi

 

 

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.