Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Ibu, Tak Kuasa Aku Merawat Keagunganmu

Oleh: Ita Novita, S.H.,M.Kn.,C.Med *)

Ibu, adalah ungkapan untuk memamanggil. Gampang diucapkan. Mudah dirumuskan, namun tak seorangpun mampu menalar dahsyatnya keagungan fakta di balik sebutan itu. Ibu, merupakan gelar kehormatan bagi perempuan. Pemilik rahim. Persemaian yang pernah dihuni anak manusia. Sembilan bulan menyusahkan tubuhnya tapi melambungkan kelak kebahagiaanya.

Ibu, adalah orang pertama yang mewujudkan pengorbanan. Membagi nutrisi untuk bayi yang dikandungnya. Ibu, siapapun tahu kalau pertaruhan nyawanya selalu diwarnai senyum. Pekik tangis anak pertamanya membuat dunia membentangkan beragam tuntutan. Menjadikannya seribu tangan untuk menjawab akumulasi beban. Kata “Istirahat” seperti menghilang dari kosa kata hidupnya. Perempuan yang hari-harinya dijalani dengan mencemaskan pertumbuhan anaknya, dan dilekati bayangan pertanyaan “Apakah aku sudah menjadi ibu yang baik, melayani dengan tepat dan mewujudkan cintaku secara akurat ?

Ibu, sebuah jabatan tertinggi yang menjadikan perempuan merasa dirinya utuh. Insan yang lembut, perasa, welas asih, sedia berkorban, penuh pengabdian dan murah hati. Perempuan, laksana ratu bermahkota anggun tapi tangkas dan harus menguasai begitu banyak hal di dalam istana mungilnya. Mahkota yang sekaligus menjadi baja kuat. Kedap terhadap tekanan yang terus menjepit kepalanya, namun tak pernah melontar keluhan. Pantang sambat terhadap tanggungjawab yang berat.

Mahkota itu berkawat duri. Ekspektasi namanya. Melingkar, membelit dan membatasi. Terus tumbuh bersarang di kepala seorang ibu. Menjelma menjadi dogma, melahirkan diksi yang menyakiti dengan kata ‘harus’. “ Kamu harus kuat, kamu harus serba bisa, kamu harus berkorban, kamu harus menghasilkan keturunan yang baik, kamu tak boleh mengutamakan dirimu lagi, kamu harus sempurna, kamu harus membantu suamimu demi kesejahteraan anak, kamu jangan jadi benalu keluarga, kamu harus …. “ dan kalimat lain yang diawali dengan kata “Harus”. Ekpektasi itu datang dari diri, lingkungan hingga konstruksi sosial.

Ibu, adalah multi pekerjaan. Complicated. Lebih dari 24 jam. Tak kenal upah minimun, apalagi bonus dan penghargaan. Terus bergerak menghadapi beragam celah mendapatkan celaan. Tetap beraksi dengan dedikasi. Tetap yakin dengan bermacam tuntutan meskipun miskin tuntunan. Tanpa sekolah khusus, tapi ia dituntut mahir dan serba bisa. Tanpa persiapan cukup menghadapi tantangan pengasuhan soal parenting kekinian tapi ia membentur tembok patriarki sebagai budaya. Budaya itu terus berkembang dengan variannya.

Ibu, sebuah kata yang kini mulai bersisian dengan frasa dan kata “ Kesabaran Setipis Tissu, Burn Out, Baby Blue, depresi, bundir bersama anak, gangguan jiwa.” Ada apa dengan para ibu? Sosok yang dahulu di gambarkan kuat, berani, tangguh, tahan banting, perkasa? Mengapa ibu berubah lemah? Sejak kapan zaman dianggap terlalu berat bagi para ibu? Kenapa tak sekuat generasi ibu kita dulu? Mengapa banyak ibu yang sakit jiwanya? Apakah kerena peran ibu kelewat banyak? Apakah ketiadaan dukungan? Apakah kurangnya iman?” Pertanyaan- pertanyaan yang kajiannya dapat ditemukan dalam bacaan, tapi tak cukup menggerakkan orang untuk mencari, menemukan, melakukan tindakan atas pertanyaan “Siapa yang harus merawat jiwa para ibu masa kini?”

Ibu adalah jantung sebuah keluarga, jika ia sehat maka sehatlah seluruh anggota keluarga. Jika degupnya benar, detaknya baik, fungsinya bagus maka kebahagiaan akan terkirim menjalar ke seluruh penghuni rumah. Ketika ia sakit, maka akan kacau balau aliran kebahagiaan dan kenyamanan. Jika ia bergenti berdetak, menggelepar, terkapar maka semua manusia akan menolak membayangkan ibunya mati kan? Semua suami tak mau kehilangan pasangan hidup, ibu dari anak- anaknya kan? Tapi mengapa tak ada upaya nyata untuk menjaga kesehatan Sang Jantung yang punya hati dan jiwa itu?

Jiwa seorang ibu bukan hanya apa yang melekat sebagai penjaga ia bernafas. Jiwanya adalah esensinya, ruhnya, energinya. Sakit jiwanya adalah kehilangan terbesar keluarga, dunia pendidikan bahkan peradaban. Jiwa itu perlu dirawat, oleh orang terdekatnya, oleh lingkungan luas, oleh aturan, oleh negara. Bermula dari yang terdekat, pasangan hidup, suami, atau lazim disebut sebagai Belahan Jiwa.

Ayah, sebutan bagi pasangan Ibu, adalah perawat jiwa yang utama. Ayah yang menjalankan perannya dengan benar sebagai pemimpin keluarga yang mengayomi akan menjadi pelindung dari rasa sakit yang datang dari ekspektasi diri dan lingkungan. Ayah yang turut mengurus, menjaga, memelihara anak- anaknya baik secara fisik maupun mental. Ayah yang hadir dalam tumbuh kembang anaknya dengan tepat sesuai peran yang digariskan oleh Tuhan dalam perintah agama, dan dicontohkan dengan memikat oleh Rasulullah.

Ayah yang menjalankan ajakan tegas Rasulullah, laki- laki terbaik dalam segala hal sepanjang zaman “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku“. Baik seperti apakah yang sesuai kebutuhan keluarga zaman sekarang? Baik dalam pola pikir, perlakuan, dan kelakuan.

Ayah yang memandang anaknya sebagai Amanah yang harus ia rawat dengan terlibat, sekaligus suami yang memandang istrinya sebagai rekan yang perlu diringankan dan dijaga kenyamannya dalam bekerja bersama mengurus rumah. Ayah yang memperlakukan ibu anak- anaknya sebagai manusia yang memiliki fitrah untuk diperlakukan penuh kasih sayang, kesabaran, ketelatenan dan perlindungan dari gangguan luar dirinya.

Ayah yang kelakuannya mencerminkan keindahan adab dan akhlak pada seluruh anggota keluarganya, yang ada kesabaran dalam tutur kata dan tindak. Ayah yang hadir bagai pahlawan seperti dalam dialog luarbiasa ini :

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ? ’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. Ayah yang menjaga keselamatan keluarganya dari sikap aniaya dirinya dan dunia luar. Ayah dengan kualitas-kualitas diatas menjadi sebaik- baiknya perawat kesehatan jiwa ibu.

Ayah adalah belahan jiwanya Ibu, maka sehatnya, bagusnya, indahnya jiwa seorang ibu ada pada bagaimana Ayah dan anaknya memberikan perlakuan tepat sebagaimana dikehendaki Tuhannya. Selamat Hari Ibu, untuk para Ibu dan para perawat jiwa mereka.

*) Penulis adalah Akademisi dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung, Pegiat Rumah Keluarga Indonesia, Praktisi Talent Mapping dan Calon Notaris yang Tinggal di Depok Jawa Barat

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.