Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Karena Sakit Jiwa, Kita Mudik

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*

Lebaran telah sampai di teras rumah. Puasa tengah mengintip di lobang jendela. Lusa keduanya mencicipi kue di meja. Sementara THR menggedor dada mengajak belanja. Tak lama lagi tradisi yang dinantikan tiba. Mudik dan euforia hari raya. Mudik adalah potret realitas. Tradisi lebaran sebagai manifestasi budaya. Lebaran bukanlah Idhul Fitri. Lebaran sebagai konsep cultural. Idhul Fitri merupakan wujud ajaran. Itulah keragaman hakikat di bumi nusantara.

 

Jelang lebaran, arus lalulintas padat merayap. Macet di berbagai tempat. Lalu lalang orang dengan beratnya barang bawaan tak terelakkan.  Bandara, stasiun kereta hingga terminal menjadi wahana mengais keuntungan. Tukang ojek berikut jasa layanan penjemputan sarat dengan rejeki dadak’an. Sontak dinamika perekonomian berbagai sektor naik tajam. Jalanan sesaat pesat diwarnai harapan dan senyum menuju kampung halaman.

 

Orang-orang kembali pulang meski sejenak ketemu handai taulan.

Mudik pada hakikatnya lebih dari sekedar tradisi. Mudik adalah kesadaran humanistik untuk kembali menemukan hakikat manusiawi. Mudik merupakan upaya menemukan kembali jati diri karena selama ini orang telah menjadi robot kapitalistik.

 

Lewis Yablonsky menyebut manusia modern ini sebagai ‘robophats’. Kehilangan spontanitas dan kreatifitasnya. Menjadi mesin, ritualistik dan monoton. Bergulat dengan landasan spirit individualis. Miskin empati karena tuntutan beragam target dalam dimensi kerja sebagai alat produksi. Terjebak rutinitas yang tidak berkesudahan. Jumud dalam sistem kompetitif yang membebani dan siap menerkam siapapun. Hidup dan kehidupannya terintegrasi dengan waktu bahkan diatur oleh waktu.

Tidak disadari orang orang kini kehilangan kodrati esensinya sebagai manusia. Orang cenderung menjadi materialis. Mengurbankan perasaannya guna menggali keuntungan material tanpa batas. Orang tak ubahnya angka-angka yang dipandang seolah tanpa rasa. Empati terkubur demi sesuap nasi. Sementara nilai-nilai tak lagi fungsi mengawal orientasi.

Orang-orang terjerembab dengan rutinitas yang diwarnai egoistis, disharmoni, kepentingan sesaat, lupa diri, pongah, sombong, menepuk dada, disorientasi, korupsi, sembunyi dibalik kemanusiaan, culas, saling hujat, sikut sesama, hasut, injak sejawat, menepuk dada bahkan pura-pura bahagia. Semua terjadi dalam dinamika  yang dibalut metode gelap mata. Bahkan menghalalkan segala cara. Tidak semua orang bisa menangkap esensi mudik sebagai wahana persemaian nilai-nilai humanis yang berakar pada integritas transendental.

Kota-kota besar kini tak lebih sebagai rumah sakit jiwa. Komunitas penghuninya adalah pasien ODGJ, termasuk dokter dan petugas rumah sakitnya. Penyembuhan individual tidaklah mungkin dilakukan. Penyembuhan massal adalah kebutuhan. Akurasi terapinya tiada lain adalah perlakuan untuk mengembalikan aspek manusiawinya. Tentu saja dengan langkah-langkah yang manusiawi pula. Caranya, melepaskan aspek material menuju semangat kekeluargaan yang spiritual. Tidak hanya sebagai rumah sakit jiwa, beragam lokasi yang mengindikasikan sentral modernisasi adalah rumah pesakitan. Komunitasnya merupakan orang-orang hukuman yang terpangkas kebebasannya atas kompetisi kalah-menang. Terbelenggu oleh nafsu dan angkara yang tidak berkesudahan. Teralinasi dari tradisi. Diborgol liarnya keinginan. Terdepak oleh kewajaran manusiawi.

Atas dasar fakta di atas, urgensi mudik lebaran menjadi penting, mendasar bahkan kebutuhan. Tidak berlebihan jika mudik merupakan terapiutis bagi orang-orang pesakitan yang juga tengah menderita sakit jiwa. Mudik adalah terapi psycosocial yang paling murah. Tidak perlu menguras biaya negara. Mudik adalah perjalanan lintas waktu karena orang ingin mewujudkan kerinduannya pada kampung halaman. Menikmati jajanan kampung, mengunjungi  sanak famili, berjabat tangan dengan teman dan tetangga.

Mudik adalah momentum untuk kembali bersimpuh di hadapan ibu dan ayah  dengan berurai air mata. Mengungkapkan segala keterbatasan, rasa khilaf dan salah serta dosa yang tiada tara. Menghampiri makam almarhum orang tua dan leluhur dalam acara tabur bunga. Bersila dengan tangan menengadah. Berdoa dengan bacaan apa adanya hingga menunduk mengekspresikan rasa di samping pusara sembari khidmad berucap lirih… ‘Ibu, aku datang’.

Mudik dapat dikatan sebagai aksi penyujian jiwa. Tidak hanya silaturrahmi sesama, dengan mudik binatangpun dikunjungi. Betapa tidak ?  Saat mudik orang-orang datang ke kebun binatang. Bersama sanak keluarga yang tidak setiap hari bisa diajak untuk piknik, rekreasi dan suka cita. Suami istri dapat menjalin kembali cinta kasih yang selama ini diputus oleh jarak. Para tetangga  dan sahabat saling bertegur sapa. Saling memberi setelah sekian lama saling silang dan bersaing. Pendek kata mudik itu tidak hanya tujuan, namun secara edukatif merupakan proses untuk kembali ke titik nol.

Karena itu biarkan orang-orang mengarungi darat, laut dan udara. Bersimbah keringat dan debu jalanan. Bersusah payah menempuh jauhnya perjalanan. Perjalanan itu adalah lorong waktu yang berurat pada historis sebagai refleksi mengembalikan cinta  sekaligus    menabur kasih. Orang-orang membawa masa kini ke masa lalu, dengan harapan mendapatkan kekuatan untuk menempuh masa depan. Itulah dahsyatnya mudik lebaran.

Sekali lagi bahwa lebaran adalah perspektif cultural dari universalitas moral Idhul Fitri. Lebaran hanya bersifat lokal. Barangkali hanya tumbuh kembang terawat di negeri ini. Di dalamnya menyimpan beragam keunikan. Dalam lebaran terdapat multi momentum. Lebaran sungguh menyenangkan. Setiap aksi dan peristiwanya sarat dengan pesan mencerdaskan.

Kawan, sempatkan mudik di hari lebaran. Jangan tunda cerita dramatis tentang modernisasi. Hiasi tawa dan senda guraumu sembari selfi mengabadikan cerita terkini. Di kampungmu engkau akan menemukan dimensi manusiawimu yang hilang tergerus atas nama kemajuan. Kawan, sebentar lagi lebaran. Tinggalkan rumah sakit jiwa dan ruang-ruang pesakitan itu karena Tuhan memberikan grasi yang patut engkau jalani. Grasi dalam wujud anugerah mudik lebaran menuju titik nol.

*)    Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Mediator Berlisensi MA dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Orda Jember serta Nominator Dosen Hukum Favorit Nasional Versi Hukumonline.

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.