Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Hari Kebangkitan Nasional seperti mimpi. Terasa sepi. Miskin jargon, apalagi narasi nasionalisme yang men-declare ‘harga mati’. Jalanan dan sudut kota hanya dipenuhi beragam baner ‘jual diri’ di tahun transisi.
Sebagian orang mungkin lupa diri. Asyik menikmati potongan video. Berserak seperti sampah memenuhi memori gadget di tangan. Potongan video itu sengaja dibuat dan diedarkan sebagai realitas buatan. Hanya teks tanpa konteks. Berupa gambar tanpa pengantar. Sebatas video dikemas tujuan dan dibalut kepentingan. Membakar imaginasi tanpa literasi. Membangun persepsi menyulut agitasi. Efeknya dahsyat. Tercipta solidaritas in group setiap komunitas dengan pembenarannya sendiri. Mendorong perdebatan berujung pertengkaran.
Multipolarisasi diwarnai amarah dan benci. Indeks demokrasi naik tinggi, meskipun pada saat yang sama diimbangi dengan kemunduran hakikat makna berdemokrasi.
Kebangkitan nasional sebagai momentum kian tenggelam dengan euforia survey.
Kebangkitan nasional yang seharusnya menjadi persemaian nilai, hanyut oleh tsunami opini. Capresku tinggi, Capresmu merosot. Capresku unggul, Capresmu mandul. Capresku berprestasi, Capresmu banyak aksi. Demikian sebaliknya. Seperti gelombang perenial. Survey telah membidani beragam opini.
Potensial melahirkan sikap saling antipati. Survey menciptakan realitas semu. Tidak absolut tanpa berkepastian. Objek survey sama, dalam waktu yang sama pula dilakukan, puluhan lembaga survey menghasilkan output berbeda. Awam menelan begitu saja tanpa kemampuan memahami metode dan pertangungjawaban akademis untuk menyoal survey.
Survey kini menjadi komoditas ekonomi politik. Dibutuhkan sebagai alat justifikasi guna membangun keyakinan dan persuasif publik. Meskipun tidak semua, namun kecenderungan ke arah sana bisa dibaca. Logis dan manusiawi. Lembaga survey tidak patut disalahkan karena pasar memang membutuhkan.
Ujung harapan dari aktifitas survey adalah viralitas. Apapun itu, termasuk upaya menaikkkan pamor Capres dewasa ini. Dengan kata lain, di era kekinian prilaku peradaban yang ditopang perkembangan iptek telah menghasilkan teori baru untuk menampilkan figur. Lebih singkat dan prakmatis karena dukungan media bisa melahirkan realitas buatan.
Jejak pribadi mudah dikemas sesuai selera pasar. Potret diri gampang dibingkai dengan narasi, sementara publik mengapresiasi tanpa cukup filter kognisi. Padahal realitas itu bukan identitas primer.
Survey dan viralitas seperti uang dengan dua sisinya. Survey dan viralitas menggilas keabadian atas nama nilai-nilai kebangkitan nasional. Orang lebih yakin dengan metode survey, daripada potret integritas dan prestasi pribadi Capres. Survey adalah pragmatisme metode yang tidak bisa dipungkiri, meskipun acapkali mengubur nilai-nilai nasionalisme. Orang menentukan pilihan tanpa filterisasi alat dan menegasikan literasi.
Semua proses dan produk yang dihasilkan pada gilirannya menjadi hampa. Bahkan potensial berujung gaduh.
Jika republik ini bisa berucap, maka spontan di moment Kebangkitan Nasional ini akan lantang bersuara : ‘Kembalikan Nasionalisme Rakyatku. Jauh lebih penting dan mendasar apabila survey itu dilakukan untuk mengukur sisa rasa memiliki generasi kini sebagai wujud nasionalisme dan sikap patriotisme. Berbeda pendapat, tidak sama pilihan adalah konstitusional. Haruskah hasil survey dan viralitas lantas mengubur keabadian integritas : Persatuan dan Kesatuan, agar harga mati yang selalu dilekatkan tidak sebatas mimpi dan halusinasi.’
Survey adalah alat, sekaligus juga ancaman. Namun hingga kini terjadi kekosongan aturan, belum ada peraturan perundang-undangan yang bisa diharapkan mampu mengendalikan proses berkualitas dan kontrol atas lembaga serta pelaksanaan survey. Kebangkitan nasional bukanlah rutinitas refleksi diri berbangsa tetapi juga evaluasi terhadap kebutuhan negeri ini.
*) Penulis adalah akademisi Universitas Jember, Mediatir Berlisensi Mahkamah Agung, Kolumnis dan Dewan Pakar KAHMI Jember serta Pembina Sarikat Buruh Muslimin Indonesia.