Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Perguruan Tinggi (PT) tengah diiming iming ‘mandat’ tata kelola tambang. Meskipun sebatas wacana, hal ini mengundang pro-kontra. PT yang lekat dengan visi pendidikan tinggi, tegas menolak. PT yang tidak paham hakikat pendidikan, spontan mengintegrasikan. Sementara PT yang gamang, cenderung tidak berpendirian. Diam tanpa pernyataan. Bersikap seolah arif bijak. Kalaupun harus menanggapi akan dilakukan berdasarkan arah opini. Tujuannya untuk memproteksi diri. Sungguh ironi. Orang Jember memberikan istilah ‘norok buntek’.
Dua kategori yang disebut terakhir merupakan cermin potensial hilangnya subjektifitas PT. Kemerdekaaan sebagai agen perubahan yang selama ini menyuarakan preskripsi moral dan norma menjadi tergerus. Daya kritis terhadap kebijakan lingkungan dan pertambangan menjadi tumpul. Akuntabilitas sebagai lembaga universitas menjadi terkubur. Esensi pendidikan tak lama lagi tinggal sejarah karena tergusur. Tak berlebihan jika disebut bahwa PT telah menggadaikan identitas marwahnya dicaplok gagasan absurd. Semua ini pada gilirannya menambah problem pendidikan tinggi bertambah kusut.
Gagasan PT sebagai pengelola tambang bukan usulan pemerintah. Ide ini berasal dari Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo). Dikemukakan di forum revisi UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Dituangkan dalam draft revisi. Disisipkan sebagai pasal tambahan. Diletakkan diantara Pasal 51 dan 52 dalam UU Minerba. Jadilah Pasal 51-A. Isinya, memberikan prioritas kepada perguruan tinggi untuk mengelola Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP).
Selengkapnya pasal itu sebagai berikut :
1. WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan prioritas. 2. Pemberian WIUP dengan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. luas WIUP mineral logam;
b. akreditasi perguruan tinggi dengan status minimal B; dan/atau
c. peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP mineral logam dengan prioritas kepada perguruan tinggi akan diatur melalui peraturan pemerintah.
WIUP berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara – Pasal 1 angka (31) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Pemegang IUP adalah pengusaha pertambangan (Psl 1 angka 7). Logikanya, berdasarkan ketentuan Pasal 51-A di atas pada akhirnya memposisikan PT sebagai pengusaha. Usaha yang dilakukan bisa menyangkut eksplorasi dan produksi (Pasal 1 angka 8 dan 9).
Dalam kapasitasnya sebagai pengusaha, secara imperatif PT dituntut menundukkan diri terhadap Hukum Perusahaan dan Aturan Ketenagakerjaan. Artinya jika Pasal 51-A disepakati dan PT menjadi pengelola tambang maka beragam kemungkinan akan terjadi, antara lain :
Pertama, terjadinya perselisihan hubungan industrial dengan pekerja pertambangan mengingat entitas pengusaha pasti terikat relasi kontraktual dengan pekerjanya. Dibebani hak dan kewajiban serta potensial berselisih. Penyelesaiannya secara non litigasi dan litigasi. Makan waktu dan biaya. Tidak heran jika kelak muncul opini negatif atas perselisihan yang terjadi (UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.6 Tahun 2003 tentang Cipta Kerja dan UU No.2 tahun 2004 tentang Perselsihan Hubungan Industrial). Perselisihan membidani dugaan bahwa pengusaha, dalam hal ini PT melakukan eksploitasi terhadap pekerja. Bahkan bisa terjerat pelanggaran HAM (UU No.39 tahun 2009 tentang HAM) dan menabrak konstitusi (UUD Negara RI Tahun 1945-Pasal 28D ayat (1) dan (2).
Kedua, sebagai pengusaha pertambangan, PT dituntut untuk memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya Serikat Pekerja (SP). SP merupakan organisasi kritis dan secara fungsional melakukan pembelaan terhadap pekerjanya. Secara organisatoris terikat hirarki hingga ke induk lembaganya di pusat dalam melakukan advokasi. Dalam tataran demikian, sangat terbuka terjadi pergeseran dari ranah hukum ke ranah politik.
Ketiga, pertambangan sebagai objek tata kelola pada dasarnya adalah teritorial sisa. Bahan tambang tidak selalu ready to explore. Spekulatif menjanjikan komoditas financial konkrit. Sedangkan jika harus mengelola lahan pertambangan rintisan, tentu saja butuh biaya yang tidak ringan. Tidak serta-merta langsung panen raya. Harus menunggu beberapa tahun momentum tiba. Padahal hingga kini, problem klasik PT baik negeri maupun swasta adalah pembiayaan bagi dirinya sendiri.
Keempat, dewasa ini industri pertambangan diposisikan sebagai The Public Enemy (musuh masyarakat) karena berpotensi merusak lingkungan. PT sebagai pengusaha pertambangan menjadi sasaran unjuk rasa. Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) yang selama ini bermitra dengan pendidikan tinggi akan berhadapan secara diametral. Bahkan membuka kemungkinan PT menjadi musuh bersama aktifis ekologi.
Atas dasar semua ini, lantas bagaimana PT menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengejawantahan visi luhurnya ? Kapan PT akan merangsang mahasiswanya untuk bertanya, melihat masalah, menganalisis situasi, tanggap terhadap problema, aktif memecahkan masalah guna mencari solusi, membumikan ilmunya terhadap realitas masyarakat, mencerna metode, berpikir akademis dan percaya diri melawan penjahat lingkungan ? Bukankah makna pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa, dan negara ? (lihat UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi – Pasal 1 angka 1).
Atau jangan-jangan rencana mandat tata kelola tambang ini sebagai strategi para pengusaha tambang untuk berlindung di bawah ketiak PT (mungkin juga ormas)? Kompensasi sepuluh persen (10%) usulan Aspebindo untuk dialokasikan ke PT dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara (minerba) tidak cukup berarti, dibanding potensi resiko yang dialami.
Penggagas menggulirkan gagasan keterlibatan PT dengan dalih mengoptimalkan riset atau penelitian dalam lembaga Tri Dharma Perguruan Tinggi. Lebih dari itu diharapkan PT secara inovatif menemukan tekhnologi baru di bidang pertambangan. Bermanfaat bagi khalayak dalam perspektif pengabdian masyarakat. Konsep demikian merupakan ujaran klasik. Simplifikasi dan problematik. Bahkan dapat dikatakan sebagai indikasi ketidakpahaman penggagas akan fungsi PT. Riset PT yang diharapkan bertaut dengan kebutuhan masyarakat dicemari oleh sistem birokrasi pengembangan karir internalnya. Rezim jurnal telah mendistorsi konsep tautan dimaksud. Karya akademik berupa jurnal tak lebih sebatas persyaratan normatif. Menegasikan kualitas dan tidak akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pengabdian masyarakat dalam konsep Tri Dharma acapkali disalahpahami. Pengabdian Masyarakat dikonotasikan sebagai kantin untuk Jumat sedekah, sosialisasi / penyuluhan hukum oleh Unit Bantuan Hukum (padahal dalam hukum berlaku asas fiksi hukum. Hukum tak perlu disosialisasikan karena semua orang dianggap tahu akan hukum), unit bantuan kesehatan dengan donor darah bersama. Pendek kata, pengabdian masyarakat dirumuskan sebagai kegiatan mahasiswa yang menghentikan studinya untuk ‘terjun ke bawah’.
Tentu saja semua ini baik dan terpuji. Namun jika hanya dengan kegiatan di atas dimaknai bahwa kampus telah melakukan Pengabdian Masyarakat maka universitas secara tidak langsung menyatakan bangkrut identitasnya. Kelak bisa dibayangkan, PT akan mendeklarasikan telah tuntas memberikan pengabdiannya kepada masyarakat karena telah membagikan CSR-nya. PT mengalami pergeseran fungsi dari Agen Perubahan dengan kekuatan kognitif menjadi Agen Sedekah yang pada dasarnya jauh dari kreatif. Usang dan meluruhkan kehormatan.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember, Mediator Berlisensi MA dan Nominator Dosen Favorit Nasional 2024 Versi Hukumonline