Diksi.co.id, Jember | PN Jakarta Pusat melalui Putusannya memerintahkan KPU menunda tahapan Pemilu 2024. Putusan itu diterbitkan atas Gugatan dengan Register Perkara 757/Pdt.G/2022, mendadak heboh.
Beragam elemen, mulai pakar, politisi dan publik mengecam dengan berbagai dalih. Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember yang akrap dipanggil Aries, di sela kesibukannya memberikan tanggapan dalam obrolannya dengan Diksi.co.id.
Menurutnya, setiap kelahiran pasti menimbulkan pro-kontra. Termasuk kelahiran atas kontroversi Putusan PN Jaksel. Sangat lumrah dan mencerdaskan. Polemik boleh, panik jangan.

Kepanikan akan menenggelamkan rasio. Emosional cenderung melahirkan main hakim sendiri. Mahfud MD menyatakan ‘lawan putusan itu’. Jimlypun berucap ‘hakimnya layak dipecat’ .
“Pendapat semacam ini mengalir seperti bola salju. Menjadi patron yang sebenarnya melupakan hal yang substantif,” katanya.
Aries menambahkan, tidak seharusnya ungkapan emosional ini diucapkan. Apalagi oleh tokoh publik yang memiliki kompetensi ilmu di bidang hukum tata negara.
“Publik butuh rujukan. Masyarakat perlu referensi untuk mengendalikan situasi,” dalam obrolan dengan Diksi.co.id.
Aries yang juga seorang Mediator berlisensi ini menegaskan soal aturan hukum. Menurutnya, mereka lupa dengan SEMA No 9 Tahun 1976 perihal Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim.
“Dalam SEMA tersebut ditegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata. Jadi tidak cukup alasan untuk menghakimi hakim PN itu,”ungkapnya.
“Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa umpatan-umpatan yang tengah terjadi dan dipublikasi itu cenderung mengarah pada countempt of court, yakni perbuatan yang merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan,” tambahnya.
Aries menilai perlu pembuktian yang kuat bila ingin menghukum hakim yang dinilai salah atau lalai dalam mengambil dasar hukum putusan (Ratio Decidendi).
“Apakah memang dilakukan atas dasar kesengajaan, kolusi, konspirasi yang melanggar sumpah hakim atau tidak. Saya tak sepenuhnya setuju dengan kriminalisasi hakim. Kecuali, memang ada bukti shahih bahwa ada hakim yang tertangkap tangan,”katanya.
“Tapi, untuk mereka yang salah membuat putusan, saya rasa sanksi administrasi sudah cukup. Diberhentikan sebagai hakim itu adalah hukuman yang sangat berat,” imbuhnya
Menurut Aries kekuasaan kehakiman adalah otoritas mandiri. Bebas dari intervensi pihak manapun. Pemerintah dalam hal ini ekskutif dilarang mengintervensi otoritas yudikatif.
“Kalau menanggapi, boleh-boleh saja sebagai pendapat. Orang berpendapat dilindungi konstitusi. Pasal 28 UUD Negara RI Tahun 1945.
Jika dirasa Putusan PN Jaksel itu inkonstitusional, gagal penerapan hukum, menabrak kompetensi peradilan, batal demi hukum dan sebagainya, upaya hukum yang bisa dilaksanakan untuk menghentikan keberlakuan putusan, adalah banding ke Pengadilan Tinggi.
Artinya, pihak yang merasa dirugikan seharusnya melakukan banding. Putusan PN Jakpus ini sebuah preseden dalam dunia peradilan dan dinamika ketatanegaraan di negeri ini,” katanya.
Lanjut ke halaman berikutnya —>