Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Pemerintah telah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Dasarnya, Keppres Nomor 24 Tahun 2013. Diterbitkan dalam rangka melembagakan peringatan hari buruh. Ditetapkan dengan tujuan untuk membangun harmoni pelaku hubungan industrial.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa May Day merupakan wujud perhatian pemerintah. Kesungguhan komitmen konstitusional penyelenggara negara terhadap hak hak buruh sekaligus penegasan, May Day bukan euforia monopoli buruh. Bahkan secara normatif, fakta penegasan ini diperkuat denga terbitnya Surat Kemendagri No.500.11.7/2333/SJ perihal peringatan May Day Tahun 2023.
Persoalannya adalah, apa sesungguhnya makna May Day di negeri ini ? Apakah May Day sebatas refleksi kesejagatan buruh atas keberhasilan menggugat jam kerja dalam peristiwa kerusuhan dalam demontrasi Haymarket pada 4 Mei 1886 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat ? Apakah May Day tidak lebih sebagai bentuk wahana kebebasan berekspresi sebagai tradisi tanpa orientasi ? Apakah May Day identik dengan aksi massif guna melepas beban psykologis buruh ?
Hingga kini belum ditemukan jawaban konkrit atas ragam pertanyaan di atas. May Day seolah hanya momentum bagi entitas buruh. Menegasikan konteks hubungan industrial yang di dalamnya terdapat komponen Pemerintah – Buruh – Pengusaha. May Day seolah merupakan gerakan parsial satu komponen, yakni buruh. Dengan demikian pada gilirannya May Day menjadi wahana aksi ‘teriak turun ke jalan’.
Tidak salah jika sementara orang menilai kalau May Day tidak lebih sebatas ‘momentum jalanan macet, hingar bingar heroik jalanan, ancaman bagi pusat-pusat keramaian, pemandangan ban dibakar….’ yang menempatkan buruh sebagai subjek penyebabnya.
Potret diri May Day pada akhirnya menjadi menakutkan. Horor dan mencekam. Fakta semacam ini harus menjadi catatan pemerintah guna merubah opini May day menjadi momentum harmoni hubungan industrial.
Kalaupun May Day secara historis diinspirasi oleh momentum keberhasilan perjuangan buruh, namun pengejawantahan menanamkan nilai-nilai semangat pergerakan dan kepedulian terhadap buruh seharusnya disesuaikan dengan nilai-nilai hubungan industrial di negeri ini.
May day dalam tataran harapan adalah dinamika aksi tahunan yang di dalamnya menyimpan asumsi logis : pertama, Buruh melakukan aksi konkrit dengan memberikan Rekomendasi Buruh Nasional sebagai aspirasi kepada pemerintah guna menuntaskan problema hubungan kerja yang sulit dihindari; kedua, Aspirasi semacam ini juga penting dilakukan di masing-masing daerah berdasarkan konteks isu hubungan industrial yang terjadi. Soal merealisasikan tentu saja dengan beragam metode aksi yang tidak anarki. Bisa turun ke jalan, dialog Tripartit, apel hubungan industrial, seminar, panel diskusi dan sebagainya.
Jangan lupa bahwa dalam relasi hubungan kerja di manapun, antara buruh dengan pengusaha selalu dalam posisi diametral.
Berseberangan kepentingan karena buruh ingin mendapatkan upah sebesar-besarnya dengan mengeluarkan tenaga sekecil-kecilnya. Sementara pengusaha ingin mendapatkan tenaga buruh sebesar-besarnya dengan keinginginan memberikan upah sekecil-kecilnya. Tidak heran kalau UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merumuskan perselisihan hubungan industrial dengan diksi ‘perbedaan pendapat…..’ bukan konflik, bukan sengketa……karena perbedaan pendapat dimaksud sudah merupakan kelajiman dalam hubungan kerja. Dengan kata lain hubungan kerja memiliki karakter dialektikanya sendiri.
Karenanya pemerintah termasuk pemerintah daerah harus bersahabat dengan buruh. Perhatian terhadap buruh dapat dilakukan dengan membuka ruang dialog dan menerima berbagai keluhan untuk ditindaklanjuti sebagai wujud kehadiran negara dalam hubungan kerja.
Pemerintah tentu harus punya rasa malu dan rasa bersalah dalam posisinya sebagai entitas yang tidak berpihak dalam hubungan kerja. Jangan hanya saat May Day buruh dirangkul guna membangun citra kondusif di daerah, namun ketika sosialisasi UMK justru Bupati atau Walikota memberikan pandangan kabur. Jangan sampai ketika buruh unjuk rasa, bupati / walikota berupaya duduk bersama, namun setelahnya buruh ditinggal seperti berhala. Adakalanya ketika momentum demokrasi tiba, buruh digadang namun setelah jadi wakil rakyat dan kepala daerah, buruh ditendang. Kebiasaan licik seperti ini sudah saatnya dihindari. Jangan sampai kepercayaan buruh terhadap penyelenggara negara meluntur, jika tidak ingin hak konstitusional buruh terkubur.
Cukup banyak isu perburuhan yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih saat May Day tahun ini. Soal pengaturan hak-hak buruh yang setengah hati, satu misal. Pemerintah melalui kebijakannya dalam regulasi yang ada selalu menggunakan strategi dua muka. Satu sisi memberikan ruang peningkatan UMK, penegasan perintah THR berikut konsekuensi sanksinya, namun tak peduli dalam pelaksanaannya.
Regulasi hanya indah sebagai fiksi di atas kertas, namun tidak sebagai fakta. Pengawasan hubungan kerja tidak lebih sebatas komponen sekedar ada. Memiliki otoritas menjalankan tupoksinya namun tidak punya energi mewujudkannya. Keberadaan pengawas hubungan kerja, sama dengan ketidakberadaannya.
Persoalan yang tidak kalah penting adalah menyangkut penanganan perselisihan secara non litigasi. Jumlah mediator di instansi ketenagakerjaan sangat terbatas jumlahnya. Tidak mampu menangani perselisihan hubungan industrial yang terus bermunculan. Jember terdapat hampir delapan ratus perusahaan, dengan seorang Mediator penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tentu saja tidak logis untuk membangun harmoni hubungan kerja. Mendesak dilakukan penambahan Mediator yang diimbangi dengan pembekalan nilai tambah kompetensi di bidang ketenagakerjaan. Karena secara faktual mediator hubungan industrial tidak selalu dari ASN yang bergelar sarjana hukum.
Sementara perselisihan hubungan industrial ada dalam ranah hukum. Sudah saatnya May Day menjadi Commitment Day bagi pemerintah, Struggle Day bagi buruh, Consistent Day bagi Pengusaha karena May Day bukanlah Fun Day.
*) Penulis adalah pakar hukum perburuhan Universitas Jember dan Dewan Pakar KAHMI Jember serta Pembina Sarikat Buruh Muslimin Indonesia.