Oleh : Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Lahan sawah dan rawon pecel adalah dua hal berbeda. Namun saling bertaut. Keduanya bernilai ekonomis. Dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan primer. Termasuk kepentingan ikonik kuliner Jember. Tidak pernah ada rawon pecel, tanpa produktifitas lahan pertanian yang menopang. Orang berpikir nasi, setelahnya kuah sebagai menu pendamping. Bukan sebaliknya. Nasi, kuah rawon, dan pecel sayur merupakan tiga komponen menu penentu eksistensi rawon pecel.
Nasi menduduki prioritas pertama dalam komposisi menu itu. Pemkab Jember antusias hendak memproses legalitas temuannya sebagai kuliner khas. Rawon Pecel.
Belum tuntas meruak opini kuliner, masyarakat disuguhi atraksi baru. Tidak enak didengar. Pahit dibaca. Kontradiktif. Tidak sesedap rawon pecel. Terendus dugaan, untuk dan atas nama investasi, Pemkab Jember mengabaikan perijinan pembangunan hotel. Lokasi di Jalan Udang Windu lingkungan Krajan – Kelurahan Mangli – Kecamatan Kaliwates. Lahan pertanian produktif berupa sawah 1,6 hektar disulap, dialih fungsikan menjadi bangunan hotel.
Media melansir, proses peruntukan hotel melalui upaya pemadatan tanah mulai dikerjakan. Diketahui ketika Ketua Komisi B mengadakan kunjungan lapangan guna melakukan konfirmasi. Fakta yang dikantongi atas kunjungan tersebut, ijin belum tuntas. Bahkan terdengar senter belum diurus.
Jika dengan dalih tidak menghambat investasi, lantas mengabaikan syarat normatif yang harus dipenuhi justru komitmen semacam ini adalah sesat nalar. Tidak saja melanggar aturan tetapi juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUB). AAUB merupakan wahana guna mengukur komitmen Pemkab Jember dalam rangka mewujudkan Good Governance dan Cleans Government.
Jika headline media itu benar maka statusnya sebagai fakta. Fakta adalah awal realitas empiris yang bisa diformulasi menjadi fakta hukum. Jika terbukti, alih fungsi lahan pertanian produktif menyimpangi Perda No.1 tahun 2015 tentang RTRW Kabupaten Jember Tahun 2015 – 2035, maka dibalik fakta hukum ini tersimpan asumsi persekongkolan jahat oknum pejabat. Bahaya, tentu saja. Merugikan, sangat potensial. Merusak citra, bisa jadi. Tidak bisa dianggap remeh. Apalagi didiamkan. Bahkan secara normatif potensial ditindak secara pidana. Soal siapa terlibat, tergantung konsistensi penegakan hukumnya.
Pasal 73 (1) UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah diubah melalui UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, disebutkan bahwa setiap pejabat pemerintah berwenang, yang menerbitkan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Bahkan pada Pasal duanya disebutkan, selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Jelas, jika memang patut diduga Pemkab Jember secara sengaja terbukti melakukan alih fungsi lahan dimaksud maka secara normatif hal ini termasuk kategori Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dalam ranah hukum pidana, perbuatan ini dapat digolongkan Wederrechtelijk formil, yakni perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. UU dalam hal ini adalah UU No.6 Tahun 2023 sebagaimana pasal di atas. Tidak hanya sanksi hukum. Masyarakat juga punya hak untuk bersikap terhadap fakta penyimpangan alih fungsi lahan pertanian. Dasar legalitasnya terdapat pada Pasal 69 – UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB). Intinya, dalam hal perlindungan LPPB, masyarakat berhak tidak saja mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang atas pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana LPPB di wilayahnya; tetapi juga bisa mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan.
Problemnya, jika Pemkab Jember belum menerbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), apakah masyarakat bisa mengajukan tuntutan pembatalan ? Jangan lupa, IMB dan PBG merupakan lembaga hukum dalam dua rezim berbeda. IMB dalam PP No 36/2005 berorientasi menciptakan tata letak bangunan yang aman. Sesuai peruntukan lahan dalam kaitannya dengan tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan PBG bersumber dari penilaian kelayakan bangunan itu sendiri. Persetujuannya berdasarkan penilaian atas kualitas konstruksi. Dengan kata lain, IMB berada dalam ranah hukum tata ruang sedangkan PBG berada dalam ranah hukum konstruksi.
Meskipun Pemkab Jember belum mengeluarkan legalitas IMB / PBG secara tertulis, sementara terjadi pembiaran terhadap investor yang melakukan aksi mendahului perijinan, kenyataan demikian dapat dikatakan bahwa Pemkab telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
Menurut Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha dapat dipahami bahwa apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Bupati) tidak mengeluarkan keputusan (ijin), sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka fakta tersebut disamakan dengan telah memberikan ijin kepada investor. Lebih-lebih investor telah melakukan pemadatan atas lahan yang dimaksudkan. Dengan demikian masyarakat dapat mewujudkan haknya guna mengajukan keberatan. Bahkan cukup bukti jika dilakukan tindakan hukum terhadap Pemkab Jember.
Tidak salah ucapan seorang kawan, Ra Kosim orang memanggilnya. Tanpa beban sembari menikmati Nasi Rawon di sudut kota Jember, berucap : “Barangkali hotel ini telah disiapkan sebagai wujud rencana strategis untuk mendeklarasikan produk kuliner Jember. Rawon Pecel namanya”.Meskipun impian itu sedap di angan, nyaman ditelinga, namun hingga kini masih pahit di lidah. Tidak saja karena problem norma, regulasi wisata yang dapat memberikan nilai tambah, hingga kini masih juga sebatas asa.
*) Penulis adalah kolumnis, Akademisi Fakultas Hukum Unej dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember