Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Merawat dan Meruwat Potret Diri POLRI

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *

Polri dihakimi, Polri memperbaiki diri. KUHAP  direvisi, UU Polri dibenahi. Revisi KUHAP seolah menjadi ancaman bagi lingkup kewenangan Polri. Itulah yang terjadi kini. Sahwat Polri menghendaki revisi UU Polri sedemikian menggelora. Bahkan dalam rapat pimpinan 31 Januari 2025, Kapolri memberikan pernyataan yang mengundang pertanyaan : ‘Saat ini Polri harus berhati-hati karena ada agenda prolegnas yang dapat mengganggu kewenangan Polri’. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melakukan konfirmasi opini. Tersimpan dalam pernyataan Kapolri adanya asumsi bahwa revisi KUHAP potensial mereduksi eksistensi Polri.

Tidak semua orang memahami dimensi Polri sehingga gagap merawat dan mengevaluasi. Polri sebagai institusi memiliki regulasi sebagai parameter kinerja dalam memberikan pelayanan. Regulasi Polri secara fungsional juga menjadi kontrol konsistensi. Regulasi Polri itu normatif. Di dalamnya diatur kewenangan internal secara imperatif. Dalam konteks norma inilah, Polri berbenah. Membuka diri untuk menggali saran, masukan publik baik diminta atau tidak.

Ironinya, cukup banyak perguruan tinggi karena dalih telah MoU ada kesan ‘sungkan’ memberikan kontribusi kontrol akademik. Apalagi memberikan catatan kritis. Polri ditinggalkan. Tidak heran dalam hal Polri berbenah, justru Polri mencari mitra insidental yang diharapkan dapat memberikan pembelaan guna melakukan revisi UU Polri dalam relasi Revisi KUHAP. Revisi KUHAP menyimpan geliat kepentingan ‘berebut’ wewenang antara Jaksa dan Polri. Di sinilah muncul peluang pelacuran akademik. Perguruan tinggi menjadi ‘ekskutor pembela’ dengan rasionalisasi yang tidak otentik. Sekedar menyenangkan pemesan.  Memburu cuan yang pada gilirannya menjadi ‘Universitas Tukang’. Bukan agen perubahan.

Isu pembenahan regulasi Polri seharusnya menyita perhatian publik. Persoalan penting dan mendasar yang semestinya menuntut urun rembuk beragam segmen, termasuk perguruan tinggi. Nyatanya opini menjawab problem penegakan hukum sepi evaluasi. Krisis inisiasi. Miskin dialektika pendapat. Para sahabat Polri seakan sengaja tiarap. Jangan tinggalkan Polri. Pembenahan UU Polri butuh kontribusi, kritik hingga konstruksi berpikir dan aspirasi. Masyarakat juga Polisi bagi Polri guna melakukan kontrol. Rupanya, masyarakat hanya tertarik pada case by case potret negatif oknumisasi Polri. Apriori, terkesan kurang empati pada upaya pembenahan institusi. Provokasi akademis dalam bentuk konstruksi gagasan tidak nampak dari perguruan tinggi. Padahal soal Polri sangat startegis untuk dikaji.

KUHAP direvisi  sebagai agenda Prolegnas 2024-2025. KUHAP adalah hukum formil. Mengatur mekanisme penegakan hukum pidana. Revisi dilakukan atas pertimbangan perkembangan teknologi yang melahirkan jenis kejahatan baru. Sisi lain mekanisme penegakan hukum diharapkan dapat mengedepankan efektifitas, efisiensi, kepastian dan keadilan. Disamping itu sebagai aturan tertulis, KUHAP pada dasarnya selalu tertinggal dengan dinamika sosial. Hal serupa juga terjadi pada UU Polri dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Mengusik daya kritis adalah Revisi UU Polri tidak masuk agenda Prolegnas. Dalam kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan, seharusnya revisi UU Polri dilakukan setelah tuntas revisi KUHAP karena Polri sebagai komponen penegakan hukum. Otomatis harus mengintegrasikan diri pada sistem yang sudah clear disusun. Logis, jika KUHAP menjadi prioritas, setelahnya UU Polri.

Polri berbenah adalah urgen. Reformulasi kewenangan Polri merupakan kebutuhan sebagai upaya membangun kepercayaan publik yang selama ini terkoyak oleh internal Polri sendiri. Betapa tidak. Meningkatnya kepercayaan publik terhadap institusi Polri di tahun 2024 tidak linier dengan banyaknya kasus viral yang melibatkan oknum Polri. Dilansir dari data hukumonline 31 Januari 2024 visualisasi angka kepercayaan publik terhadap Polri berdasarkan hasil survey Litbang Kompas sebesar 73,1%. Tahun 2023, Desember  71,6% dan Agustus, 66%.

Data YLBHI, dalam kurun 2022-2023 ada 146 kasus kekerasan oleh polisi. Dilakukan saat penyidikan yang menimbulkan 294 korban. Sepanjang tahun 2019 – Mei 2024 setidaknya terdapat 95 kasus kriminalisasi. Menjerat ratusan korban dari latar belakang petani, buruh, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa.

Patut dicatat, dalam kurun yang sama terdapat 35 peristiwa penembakan dengan jumlah korban tewas 94 orang. Sektor kasusnya membentang dari konflik kemanusiaan berkepanjangan di Papua, narkotika, oposisi politik, hingga agraria. Polisi kerap menggunakan upaya pembenaran untuk melakukan penembakan di tempat yang mengakibatkan kematian.

Setiap saat serambi medsos diwarnai pemberitaan dan viralisasi oknum polisi. Membangun citra negatif. Tercipta jati diri Polri menegasikan HAM. Tidak mengayomi masyarakat. Represif. Tidak netral. Bahkan melakukan perbuatan kontradiktif dengan tupoksi yang seharusnya dijaga konsistensinya. Sambo adalah kasus monumental. Lekat di dalamnya dimensi pembunuhan, korupsi dan perbuatan melawan hukum lainnya. Nama baik Polri menjadi terjun bebas. Tidak heran Polri menjadi objek bullying. Menuai krisis kepercayaan publik.

Polri adalah bagian dari masyarakat. Refleksi eksistensi Polri ditentukan oleh keamanan dan kenyamanan masyarakat. Polri butuh re-evaluasi. Perlu kontribusi gagasan untuk melakukan reformulasi. Problemnya, apakah reformulasi itu dilakukan terhadap aturan yang melandasi tupoksi Polri ataukah perilakunya sebagai aparatur penegak hukum ?  Meskipun MK melalui putusannya atas yudicial review terhadap UU No.2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara RI (Putusan No.60/PUU-XIX/2021 / Putusan No.115/PUU-XXI/2023 / Putusan No.4/PUU-XX/2022) tidak merekomendasikan mandat perubahan karena semua gugatan ditolak, namun secara faktual Polri berproses melakukan revisi terhadap UU No.2 Tahun 2002 adalah kebutuhan. Salut dan apresiatif atas niat baiknya.

Namun demikian, jika dikaji dari rumusan pasal-pasal revisinya justru membuka ruang kontradiktif dengan komitmen reformulasi yang gencar dikumandangkan. Betapa tidak. Berikut catatan kritis terhadap draft revisi beberapa pasal RUU No.2 Tahun 2002. Disarikan dari Catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, tahun 2024 :

Pertama, Pasal 14 ayat 1 huruf (e). Disebutkan, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : (e) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional. Ketentuan demikian  menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Polri merupakan lembaga penegak hukum, bukan pembentuk hukum. Tidak ada legitimasi substantif atas otoritas melakukan pembinaan hukum. Justru Polri yang seharusnya ada di posisi untuk dibina dalam rangka penegakan hukum.

Kedua, Pasal 14 ayat (1) huruf (o). Polri diperkenankan melakukan penyadapan dalam lingkup tugasnya  sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan. Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan. Kewenangan penyadapan oleh Polri dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki UU tentang penyadapan. Bahkan ketentuan draft pasal ini menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.

Ketiga, dalam pasal dan ayat yang sama huruf (p), ditentukan bahwa Polri memiliki tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan. Nomenklatur ‘melaksanakan tugas lain’ secara normatif menimbulkan legal problem ketidakjelasan rumusan. Pada gilirannya menciptakan ketidakpastian hukum karena potensial membuka ruang otoritas di luar kewenangan kepolisian. Selama ini dalam tataran praktik, kewenangan dimaksud menyangkut pelayanan izin keramaian, SKCK, pengamanan, patwal, pemberitahuan aksi/demonstrasi, ijin keramaian dan sejenisnya. Dengan tambahan pasal ini membuat Polri kian leluasa atau dapat tidak terbatas melakukan tindakan apapun dengan mengatasnamakan pelayanan masyarakat.

Keempat, disebutkan dalam Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) – Polri diperkenankan untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi, khususnya pada isu-isu yang mengkritik pemerintah. Dengan demikian revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat sebagai pilar demokrasi.

Kelima, cermati Pasal Pasal 16B Ayat (1) – Kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan dalam rangka tugas Intelkam Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A huruf c meliputi : (b) Pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Disamping beberapa cacat kaidah sebagaimana uraian di atas, tentu masih banyak pasal-pasal pengaturan kewenangan Polri yang urgen dikritisi. Polri tak butuh sanjungan. Polri butuh asupan sehat dalam rangka membangun institusi Polri yang bermartabat. Kritik merupakan refleksi menemani dan menyayangi Polri dalam menjalankan pengabdian dan tugas profesionalnya. Polri bukan berhala sesembahan. Bukan hantu yang menebar rasa takut. Tidak ada alasan rasional yang menghalangi siapapun membicarakan Polri. Membicarakan Polri identik dengan mencintai agar Polri terus bercermin diri.

Struktur Polri sebagai alat negara. Keberpihakan Polri bukan kepada penguasa dan pengusaha. Cultur Polri harus bersahabat dengan kebutuhan masyarakat. Profesionalitas Polri adalah panggilan yang berakar pada  moralitas.  Jika konsep demikian terintegrasi pada diri Polri, dengan tangan terbuka masyarakat akan kembali menerima Polri. Sehingga kelak dalam setiap penanganan kasus, mindset Polri tak lagi terusik dengan kalkulasi : ‘siapa yang harus disembunyikan, siapa yang dapat dikorbankan, berapa ‘kompensasi’ yang diterima, bagaimana disain mekanisme pemeriksaan, siapa ahli yang bisa diajak kolaborasi untuk menentukan rencana, serta dari sisi mana dimensi kasusnya ditampakkan agar viralisasi tidak menjadi ancaman. Di sinilah urgensi untuk merawat dan meruwat potret diri Polri kini dan mendatang.

*)  Kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI  Jember, Mediator Berlisensi MA dan Nominator Dosen Favorit Nasional 2024 Versi Hukumonline

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.