Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *), Nurdiansyah Rahman, SE **)
Ramai. Khalayak bereaksi. Positif dan menyimpan banyak arti. Bahkan memotivasi ICMI. Publik melakukan konfirmasi sejak ICMI Jember Reborn. Hot issue japri via whatsapp, mencerca dengan pertanyaan tunggal sebagaimana judul opini di atas. Belum terjawab, meskipun tidak berarti nihil jawaban. Hanya saja tidak gegabah mengkomunikasikan karena butuh perenungan. Perlu kontemplatif dengan memperhatikan kecermatan, kehati-hatian, perspektif, indikator, problema, fakta dan estimasi sebagai proyeksi. Bingkai pertanyaan yang terdiri dari tujuh kata itu muncul karena ICMI Jember melekatkan jargon Indonesia Emas menuju 2045. Multi perspektif dan debatable. Itulah ICMI. Krakateristik yang selalu mengusik. Kritis, reflektif dan akademis.
Seorang Nurdiansyah Rahman, Lora Nung orang menyebut, justru balik bertanya. Mengejar otentisitas sanad historis frase Indonesia Emas yang selama ini ‘dipanggungkan’ pejabat. Dilantunkan dalam berbagai forum, meskipun ‘sang pelantun’ juga sarat kegamangan menggali reasoning. Inilah budaya bernegara di NKRI. Unik, tapi tidak menarik. Karena gelora ICMI Jember, jargon Indonesia Emas digunakan sebagai framing mutatis mutandis untuk membangun Jember.
Konotasi diksi ‘emas’ dipilih dalam jargon karena emas adalah logam mulia. Sangat berharga. Sama dengan berlian. Keduanya tidak saja mahal, namun juga butuh proses mendapatkan karena terbatas pasokan dan tidak sedikit menguras finansial. Dilansir dari situs Luxuryviewer- Brightside, emas justru berada pada peringkat ke-15 dari penelitian daftar 17 barang termahal di dunia. Sedangkan berlian ada pada urutan ketiga setelah Californium dan Antimateri. Mengapa bukan jargon Indonesia Berlian ? Tak penting untuk dijawab.
Dalam diskusi kecil di lokasi Jendra Budaya Gunung Tembok, Lora Nung memaknai emas sebagai keindahan. Harga mahal, icon kebanggan. Emas dalam konteks ICMI berarti cita-cita yang menjanjikan. Membuka ruang harapan. Siapapun gandrung memburu guna mendapatkan. Emas tak lebih sebagai ikatan konsensus. Memberi arah dan pedoman. Jember Emas, konotasinya sama. Namun tidak dalam rentang waktu panjang. Jember Emas merupakan arah dan cita-cita. Strategis dilekatkan 5 tahunan sebagai periodesasi jabatan bupati. Pertimbangannya, siapapun pejabatnya, tidak seenaknya melahirkan jargon. Jargon pembangunan di manapun kabupaten/ kota, butuh penetapan hukum. Jargon bukan otak atik kata. Apalagi ekspresi euforia. Jargon harus berakar pada nilai dan konteks kebutuhan Jember. Serius, tidak cukup dilekatkan pada setiap mobil dinas. Kemudian kendaraan lain ikut ikutan tanpa dasar alasan. Sebatas menunjukkan loyalitas pribadi dan menegasikan pelayanan publik sebagai visi.
Kalimat penjelas Lora Nung tak bisa diputus. Berapi-api beliau bertutur hingga menggeser posisi duduk saking semangatnya berdiskusi. Kalau Jember Emas menjadi jargon pembangunan, lanjut Lora Nung, tidak berarti tertutup pintu menggunakan jargon lainnya. Boleh boleh saja. Penting dipahami, apapun jargonnya, harus merepresentasi kehendak kolektif. Bukan selera pribadi. Satu hal, apapun jargonnya harus berkilau.
Di sinilah urgensi aktualisasi peran ICMI Jember sebagai mitra pemerintah kabupaten. Memberikan dukungan berarti, bukan mengelaborasi. Kontributif kritis, bukan pasif apatis. Komplit referensi untuk aksi. Tertib katalog agar tidak keliru referensi ditengok. Ungkapan cinta ICMI harus dikedepankan, namun tidak dengan pujian. ICMI hanya subordinasi terhadap visi, bukan bagian dari pribadi, kelompok, golongan, parpol apalagi rezim meskipun dalam lingkup skala daerah. ICMI Jember sebagai agen perubahan, bukan komunitas jalanan. Sok cuek dengan persoalan, namun selingkuh politik mengharap cuan.
ICMI dituntut peduli, ketika 70 prosen perusahaan di Jember tidak membayar upah sesuai aturan. Sebuah kejahatan pengupahan di pelupuk mata yang tak pernah disentuh kebijakan hingga sekarang. ICMI dibutuhkan memberikan seruan ketika keputusan merambah kaveling kordinat kesepakatan. ICMI tidak tinggal diam ketika lahan sawah ditanam bebatuan untuk penginapan. ICMI diharapkan punya empati agar tak ada lagi ibu melahirkan di tepi jalan. ICMI diuji objektifitasnya ketika netralitas ASN dilanggar yang hingga kini belum pernah tuntas. ICMI dipanggil keadaan ketika indikasi korupsi telah menjadi fakta dan pemberitaan. ICMI dilarang buntu pikiran ketika Pilpres telah diambang pintu.
Tak dipungkiri, Jember juga sarat prestasi. Patut diapresiasi dan ICMI turut menjaga dengan opini dan potensi daya dukung insani. ICMI harus menjadi neraca sebagai simbol keseimbangan untuk merawat objektifitas. ICMI hanya punya sumberdaya dan keikhlasan al-fatihah. Tidak ada dana, apalagi aset berharga. Hanya akhlaqul qarimah dan bacaan Yasin Fadhilah. Terus berkumandang pagi siang hingga petang. Jember berproses menjadi emas. Tapi tidak serta-merta. Butuh kerja cerdas, termasuk kebersamaan dan solidaritas. Tak hanya membersihkan dari debu melekat tetapi juga menyelamatkan dari tangan-tangan yang hendak mencurinya. Karena itu, sebelum menjadi emas, ICMI juga ditantang untuk menyelamatkan. Selamatkan Jember menuju Jember Berlian. Bukan lagi emas. ICMI bukan penjaga gawang, tapi ada di semua lini pertahanan. Pertahanan yang elegan adalah menyerang. Jika tidak, maka keberadaan ICMI dianggap sama dengan ketidakberadaannya.
*) Kolumnis, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember
**) Budayawan, Ketua Umum Silat Tradisional Indonesia Panji Nusantara, Pembina Laskar Jawara, Pengelola Komunitas Jendra Budaya dan Pengurus ICMI Orda Jember – Divisi Seni dan Budaya