Diksi.co.id, Jember | Rencana anggota dewan menggelar aksi di Jakarta menuntut standart harga satuan regional (gaji dan tunjangan,red) seperti yang diatur pada PERPRES 33 Tahun 2020 dinilai tak etis oleh pakar hukum tata negara Dr Jayus, S.H, M.H.
Ketidaketisan itu disampaikan purnadosen Universitas Jember (UNEJ) diacara diskusi bulana forum konco dewe (FKD) di Red Papper Coffe Desa Jubung, Kecaman Sukorambi Jumat (10/2/2023).
Jayus memandang para anggota dewan itu tak beretika. Padahal dalam kehidupan sehari hari berbangsa dan bernegara etika dan moral itu harus dijunjung tinggi. Sehingga moralitas para legislator yang harusnya bertugas memperjuangkan hajat hidup rakyat patut dipertanyakan.

Selain tak bermoral dan tak memiliki etika, cara atau Langkah aksi damai para anggota dewan itu menurutnya adalah lelucon politik yang harus dihentikan. Mengapa demikian ? Sebab anggota dewan yang semestinya memberi contoh kepada masyarakat justru menyajikan tontonan yang tak layak ditiru masyarakat.
“Anggota dewan perwakilan rakyat berduyun duyun ke Jakarta, mengadukan urusan standart satuan anggota dewan juga. Kalau tontonannya seperti ini tuntunannya dimana,” tegasnya.
Dan pada konteks ini, cara paling tepat untuk para anggota dewan yang akan mengadukan keterkaitan gaji dan tunjangannya itu harus ditertibkan oleh partainya. Karena Jayus meyakini hanya partai dari masing masing anggota dewan tersebut yang dapat menghentikan lelucon politik itu.
Senada dengan Jayus, Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) Banyuwangi Drs Andang Subaharianto, M.Hum menyatakan, tugas anggota dewan itu melahirkan regulasi, atau membuat perda.
Dan untuk menuntut urusan gaji dan tunjangannya tidak perlu menggunakan jalur aksi damai 20 Pebruari 2023. Jika para legislator itu masih bersikukuh menempuh jalur aksi tersebut, Andang menilai tak perlu diadakan pemilu dan proses pemilihan anggota dewan.
“Dagelan politik yang tidak lucu,”kata pria yang tercatat sebagai aktivis GMNI semasa kuliahnya.(day)