Rabu, Juni 4, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Personifikasi Pancasila Menggugat

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)

Hari ini 1 Juni 2024. Diperingati sebagai Hari Lahir-Ku. Aku adalah Pancasila. Pada momentum ultah-Ku ini Aku dielukan, digadang dan dipanggungkan. Pujian dilantunkan melebihi nyanyian kemerdekaan. Terkesan berlebihan. Sisi lain rakyat merapat pasang badan melindungi-Ku dengan kepalan tangan.

Aku dipandang sakral, sakti, abadi, meskipun fakta historis tidak demikian. Seolah Aku steril dari cacat dan diasumsikan tuntas menjawab tantangan jaman. Tak seorangpun meragukan otentisitas-Ku sebagai produk asli dari rahim ibu pertiwi. Tak heran, khalayak mengunciku dalam narasi ‘Pancasila adalah Harga Mati’.

Ketika harga mati menjadi label-Ku, maka saat itu merupakan pertanda kematian-Ku. Kematian percakapan tentang-Ku. Kematian karena tidak perlu ada diskusi yang menyoal-Ku. Kematian karena tak ada lagi pertengkaran pikiran perihal-Ku. Tidak penting melakukan riset terhadap-Ku. Tidak relevan mengembangkan pusat kajian yang melekatkan nama-Ku. Bahkan tidak lagi urgen ada peringatan kelahiran-Ku.

Aku bukan berhala sebagai objek sesembahan. Pun juga bukan ajimat yang harus disimpan, disucikan dan dibalut kafan keramat. Kampus tak perlu lagi menyusun diktat Filsafat Pancasila karena dialektika epistem tentang-Ku telah berakhir dengan proposisi kematian-Ku. Aku bukan tokoh pewayangan yang dikendalikan kepiawaian dalang, walaupun 32 tahun Aku dalam cengkeraman Rahwana. Dibuat alat untuk membungkam guna membalut kebengisan zaman.
Aku bukan soal teks yang dibaca selepas pengibaran bendera. Bukan pula rangkaian kalimat pelengkap ragam prosesi dari halaman SD Inpres hingga istana Wapres.

Aku tidak pernah menghakimi siapa pun. Apalagi memberikan predikat ekstrim ‘engkau tidak Pancasilais’. Tak semua orang tahu, hingga kini NKRI masih menggunakan produk hukum kolonial. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetbook Van Straffrecht), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetbook) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbook Van Kophandle) adalah fakta beragam norma yang tidak Pancasilais karena berakar pada nilai-nilai liberal. Namun Aku tetap menerima dan bersahabat karena fungsional menjaga dan menciptakan tertib sosial.

Aku bukan objek yang ber-eksistensi sebagai benda. Gampang direposisi dan naif dipandang. Bahkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), hingga sekarang tak jelas jluntrungnya. RUU HIP terindikasi menempatkan-Ku sebagai objek pengaturan. Sementara dalam kaidah asas, posisi-Ku sebagai sumber nilai pembentukan dan menginspirasi substansi pengaturan. Philosofische Grondslag (fundamen filsafat), demikian Soekarno menyebutnya. Pikiran terdalam dan mendasar untuk kemudian di atasnya didirikan bangunan bernama Indonesia. Dalam teori hirarki norma, Hans Kelsen menyebut dengan istilah Grundnorm atau Staatfundamentalnorm, menurut Hans Naviasky.

Aku adalah gerak. Akhlak yang terus bernegosiasi dengan peradaban. Aku bukan patung batu yang menancap tak berucap. Aku adalah reasoning sebagai wahana pendamping perubahan. Aku adalah lentera dalam gelap sejarah guna membuat terang pencarian untuk dan atas nama kebangsaan.

Aku Pancasila. Suluh untuk menemukan ke-Tuhanan sebagai persemaian kontrol yang terintegrasi secara pribadi. Pengasah guna menajamkan sensitifitas humanism yang memanusiakan manusia dalam relasi cinta kasih. Peneduh kebersamaan dalam keragaman nusantara yang dikenal dengan kebhinnekaan. Kompas pengambilan keputusan yang menampung kehendak banyak orang sebagai manifestasi demokrasi. Rambu-rambu menjaga atmosfir keadilan sebagai kebutuhan sosial.

Namun kamu tidak serius dengan-Ku. Menggunakan keberadaan-Ku guna menutupi prilaku yang sebenarnya melawan-Ku. Bahkan terhadap Tuhanpun, kamu setengah hati dan tak henti berdiplomasi. Keyakinanmu tengah mengambang. Dijepit kegamangan berkepanjangan. Gerak prilakumu tanpa terang Tuhan sebagai causa prima. Sila Ketuhanan kamu tempatkan bak berhala, tak berarti apa-apa. Ketika integritas religiusmu memudar maka berkembang sikap dan aksi yang menghalalkan segala cara. Karakteristik keyakinan yang selama ini memposisikan agama dan ke-Tuhanan sebagai landasan religiusitas kian terkikis oleh pragmatisme material. Otoritas menjadi tempat sembunyi prilaku culas. Sementara hati sebagai wahana kasih dipinggirkan oleh emosi.

 

Tidak ada rasa malu dan rasa bersalah terhadap-Ku. Berapa banyak uang rakyat kamu kuras. Betapa banyak hak konstitusional khalayak kamu libas. Objektifitas menjadi barang mahal karena ulah nepotis dan kolusimu. Kamu caci umat beragama yang tidak segolongan. Membabi buta mengkafirkan. Mengkonstruksi toleransi dengan kacamata kudamu. Toleransi dikampanyekan dengan metode intoleransi.

Kamu saling menghinakan. Eksploitatif terhadap sesama. Darah dan nanah buruh kamu hisab habis. Kemiskinan disulap menjadi angka-angka mati untuk mengubur fakta demi pencitraan. Kamu pangkas anggaran setiap dinas hanya untuk membangun kesan pemenuhan atensi publik atas kebutuhan jalan. Hukum dipermainkan. Peradilan sebagai garda depan pelayanan kepastian disamarkan. KUHP menjadi akronim Kasih Uang Habis Perkara. Keadilan menjadi komoditas industri yang tak pernah tuntas dipersoalkan. Palu hakim tak lagi menegaskan suara Tuhan. Sumpahmu di bawah kitab suci menjadi sampah tak berarti.

Terus terang kini kamu gampang marah. Sensitif. Cepat tersinggung. Mudah menyalahkan. Obrolan group Whatsapp tak lagi menyejukkan. Kasar saling cakar. Temperamental dengan perbedaan. Sakit hati berbantahan hanya karena berbeda pilihan. Kamu tak lagi cerdas berargumen. Berdiskusi mengedapankan sentimen. Kamu fanatis namun tak diimbangi daya kritis. Cuan diimpikan namun kamu miskin kepantasan untuk mendapatkan. Demokrasi indah sebagai fiksi, namun tidak sebagai fakta.

Tak henti kamu kunyah hingga sekarang, mantra kuno yang menyesatkan soal politik adalah kepentingan abadi. Tak heran dengan segala cara kamu menghalalkan upaya mendapatkan semua kepentingan. Etika menjadi nomor sekian. Sikut sejawat, injak bawah, jilat atas dengan ‘ideologi pokok’e’. Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, kamu gunakan sebagai alat seleksi untuk memenuhi selera ‘pembeli’. Berteori cuplik sana sini hingga kamu lupa tak punya pendapat sendiri. Pilkada kamu bicarakan, namun isinya hanya mempecundangi orang. Atensi program kamu sepelakan, justru energimu terbuang membicarakan polygami orang. Silaturrahmi dicurigai merebut posisi. Gundah gulana menghantui termakan asumsi.

Aneh. Setiap saat begitu mudahnya nasionalisme dikumandangkan. Mulai kampus hingga warung kopi di tepi kali. Terus berlanjut tak pernah putus. Demokrasi tak lagi bicara aspirasi, hanya transaksi menjual diri. Kualitas wakil rakyat menjadi tak berarti, sehingga tidak heran ketika menduduki kursi mengusulkan Money Politik dilegalisasi.

MK sudah hilang citra sebagai garda pelayan konstitusional. KPK kehilangan taring menjaga marwahnya tergerus konflik internal tak berkesudahan. Sementara kebebasan berekspresi kamu rebut dan rampas. NKRI bukan Republik puja-puji. Aku tidak butuh pujian. Apalagi di tempatkan seperti pengantin diapit kembang mayang.

Bung, ini NKRI. Berasaskan Pancasila berbasis Akal Budi. Hentikan mobilisasi yang melahirkan ‘seolah-olah’ dan imajinasi gengsi. Jika tidak, selamanya kamu tidak akan paham hakikat-Ku yang terus berotasi. Hari ini 1 Juni 2024 Aku butuh benturan pemikiran. Duduk di teras nusantara di temani pekat kopi sembari berbincang untuk mengabarkan tentang ideologi lain yang sedang ngintip di balik lawang.

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Orda Jember dan Mediator berlisensi Mahkamah Agung.

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.