Diksi.co.id, Banyuwangi | Selat Bali sudah tidak sehat lagi, pencemaran laut di itu terlihat kian parah. Laut yang biasanya warna biru kini warnanya kecoklatan.
Pencemaran laut ini, membikin pembudidaya lobster di wilayah desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kebingungan. Pasalnya akan berdampak pada lobster-lobster yang dibudidayakan.
Apalagi, keberadaan sampah yang terbawa arus sungai berakhir di laut turut menambah pencemaran laut.
Pengurus Kampung Lobster Dive Club’, Desa Bangsring, Hadiyanto mengungkapkan pencemaran ini berdampak buruk terhadap keberlangsungan pembudidaya lobster.

“Dampaknya sangat signifikan terhadap budidaya lobster didalam keramba-keramba di dasar laut,” ungkap Hardiyanto, Minggu (16/4/2023).
Ia menjelaskan, lobster yang dibudidaya di dasar laut itu, akibat tercemarnya laut akan terserang bakteri jahat berakibat kematian. Tercemarnya laut bisa dilihat dari warna air laut yang biasanya warnanya biru kini berubah kecoklatan.
Dampaknya, sambung Hardiyanto pembudidaya lobster mengalami kerugian cukup besar.
“Perubahan warna air laut sudah beberapa kali terjadi. Akibat pencemaran air laut ini banyak lobster yang di budidaya di dasar laut banyak yang mati,” ujarnya.
“Kalau ngomong kerugian jelas rugi lah, ruginya gak sedikit, diatas ratusan juta rupiah,” sambungnya.
Hardiyanto membeberkan tercemarnya air laut ini disebabkan saat hujan deras air sungai yang ada di hulu membawa lumpur dan sampah. Lumpur dan sampah itu mengendap ke dasar laut sehingga menjadi racun.
“Endapan lumpur dan sampah inilah yang membawa bakteri, menyebabkan lobster mati. Dan sangat merugikan pembudidaya lobster,” paparnya.
Disamping itu, dampak parasit dan bakteri itu, lobster-lobster yang dibudidaya di dalam keramba tidak bisa besar. Bahkan berujung kematian.
“Kalau air laut tercemar seperti ini, tingkat kematian lobster didalam keramba bisa mencapai 60 persen,” tandasnya.
Hardiyanto menyebut dampak air laut tercemar pembudidaya Lobster Kampung Lobster mengalami kerugian mencapai Rp 500 jutaan.
“Angka Rp 509 juta itu belum termasuk biaya operasional,, jika di total bisa mencapai angka Rp 1 miliar,” bebernya.
Dampaknya lagi, banyaknya lobster yang mati tidak mampu mengekspor. Padahal, pada bulan Agustus hingga Januari 2924 permintaan cukup tinggi.
“Negara – Negara yang minta kiriman lobster itu China, Hongkong, dan Taiwan. Kampung lobster bisa ekspor sampai 1 ton lobster hidup dan segar,” ujarnya.
Melihat kondisi perairan di pantai Bangsring seperti ini, Hardiyanto sedikit pesimis. Bahkan, ia memprediksi hanya mampu mengekspor dibawah setengah ton saja.
“Kalau melihat kondisi laut seperti ini, paling banter panen tahun ini hanya mampu memperoleh 100 hingga 200 kilogram saja,” keluhnya.
Bahkan, jika air laut di pantai Bansring terus seperti ini, dirinya berani memastikan budidaya lobster akan hancur atau gulung tikar.
“Kalau pencemaran air laut masih seperti ini, ya bangkrut mas. Kalau pemerintah tidak bisa mengantisipasi ya di tutup saja,” tandasnya.
Hardiyanto berharap kepada semua pihak agar menjaga lingkungan sungai dan laut. Terutama masyarakat jangan sampai membuang sampah di sungai.
“Kalau air laut tidak tercemar, ekosistem didalam laut bisa terjaga. Maka dari itu jangan buang sampah di aliran sungai, dan laut,” himbaunya. (tyo)