Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)
Riset hukum acapkali dipahami keliru. Bahkan hingga kini masih debatable. Tidak saja di lingkungan mahasiswa sebagai penstudi, multipolarisasi pemahaman ini juga terjadi di lingkungan sejawat akademisi. Perbedaan pandangan muncul karena keterbatasan pemahaman terhadap hakikat keilmuan hukum. Satu sisi hukum dipandang sebagai entitas empiris sehingga muncul istilah hukum sebagai prilaku. Dalam kasanah teori disebut dengan perilaku hukum. Konsep berpikir demikian melahirkan metode riset hukum sebagaimana ilmu-ilmu sosial. Mengukur kesadaran, ketaatan, efektifitas berlakunya aturan dan budaya hukum. Objek analisisnya berupa data dalam bentuk simbol, angka, gambar, suara, ucapan, pernyataan. Upaya memperolehnya dengan mengoptimalkan eksplorasi lapangan. Bisa pengamatan atau wawancara. Pendek kata, hukum dalam pemahaman demikian menggunakan konsep metode ilmu-ilmu sosial. Hasilnya gampang ditebak. Terjadi kesenjangan antara harapan hukum dengan kenyataan perilaku. Rekomendasinya bisa dipastikan, yakni perlu intensitas sosialisasi hukum. Padahal dalam kaidah berlakunya aturan, tidak ada kewajiban melakukan sosialisasi. Perbuatan melawan hukum apapun tidak mentoleransi alasan belum tahu akan aturan. Kalangan ahli menyebut dengan asas Fiksi Hukum.
Sisi lain, hukum dipandang sebagai norma. Artinya, hukum bukan perilaku karena hukum memberikan pedoman pada perilaku. Hukum dan perilaku adalah dua entitas berbeda. Gambaran konkritnya melalui contoh berikut : Buruh harus diberikan upah sesuai standar Upah Minimum. Diatur sebagai ketentuan tertulis yang ditetapkan dalam undang-undang. Perintah ini merupakan hukum. Berkepastian dan bersifat imperatif. Suka atau tidak suka harus ditaati. Secara fungsional menjadi pedoman. Ketika ada pengusaha yang tidak memberikan upah buruh sesuai perintah, maka hal tersebut masuk dalam kategori perilaku. Hukumnya benar, perilaku pengusahanya salah karena tidak taat hukum. Contoh dimaksud merupakan ilustrasi sederhana. Penggambaran bahwa hukum itu beda dengan prilaku.
Mana yang tepat diantara dua konsep di atas ? Untuk menjawabnya, harus melalui koridor filsafat ilmu. Hingga kini, Unesco tidak menganggap Hukum sebagai ilmu. Justifikasi ilmu hanya diberikan pada entitas Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Ilmu Alam meliputi Fisika, Kimia, Biologi. Ilmu sosial terdiri dari Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Sosiologi, Psikologi, Antropologi. Sedangkan Sejarah, Bahasa/Sastra, Ilmu Budaya, termasuk dalam rumpun Humaniora. Demikian pohon ilmu versi Unesco-PBB. Tidak ditemukan pengakuan terhadap eksistensi ilmu hukum.
Tiga kategori rumpun ilmu di atas berangkat dari kasanah empiris. Proposisi kebenarannya diperoleh melalui uji coba kasat mata. Aluminium, tembaga, emas, besi, timah, perak, titanium, uranium, dan seng di manapun ketika dipanaskan, akan mengembang. Simpulannya, logam jika dipanaskan akan menegmbang. Perubahan sebagai reaksi atas aksi terhadap logam melahirkan kebenaran sebagai ilmu. Konsep aksi dan reaksi semacam ini juga diterapkan pada manusia dalam ranah ilmu-ilmu sosial. Biasanya untuk mengukur respon terhadap fenomena atau peristiwa sehingga ouput inventarisasi reaksi individu setelah digeneralisasikan pada gilirannya menjadi simpulan berbobot kebenaran.
Sanad kebenaran keilmuan empiris berakar dari istilah ‘science’ yang berarti ilmu pengetahuan. Suatu putusan dikatakan benar jika didasarkan pada realitas lahiriah. Bersifat inderawi yang ditunjukkan secara kasat mata. Terlepas apakah output dari proses penelitian itu berkontribusi pada manusia sebagai mahluk atau sebaliknya. Meninggikan harkat martabat atau justru menghancurkannya. Bebas nilai. Tidak ada ruang bagi norma sebagai rambu kontrol.
Namun orang lupa dan melupakan hakikat science. Sesungguhnya kata ‘science’ berasal dari bahasa Latin ‘SCIENTIA’. Dalam bahasa Yunani disebut ‘epistem’. Geoffery Samuel menyatakan “The Latin word ‘SCIENTIA’ did not have the same meaning as the modern term “science”. It meant knowledge. The term scientia contained within it the idea of certain rationality. ( Kata Latin ‘SCIENTIA’ tidak memiliki arti yang sama dengan istilah modern “science”. ‘SCIENTIA’ berarti pengetahuan. Makna yang yang terkandung dalam istilah “‘SCIENTIA’ ialah gagasan rasionalitas tertentu). Artinya suatu proposisi atau pernyataan yang memang reasonable potensial bernilai ilmu sepanjang diakui oleh komunitas kesejawatan. Tanpa harus dibuktikan dengan uji coba.
Berdasarkan pernyataan Geoffery Samuel di atas dapat dipahami bahwa tidak semua proposisi kebenaran ilmu pengetahuan berakar pada ranah empiris. Suatu pernyataan yang berisi gagasan potensial memiliki bobot ilmu, seperti halnya ilmu hukum. Ilmu hukum memiliki karakter tersendiri yang populis disebut Sui Generis. Konsekuensi logisnya, metodologi risetnyapun tidak sama dengan ilmu empiris pada umumnya. Riset hukum tidak butuh eksperimen yang bersifat kasat mata. Fakta dan fakta hukum lebih penting dari data. Fakta adalah peristiwa sebagai representasi konteks sedangkan fakta hukum adalah kontekstualisasi sebagai bahan analisis. Fakta hukum merupakan peristiwa dalam bingkai perspektif hukum.
Dalam kerangka pikir ini riset hukum diawali dengan temuan yang disebut Legal Problem. Legam problem lekat pada aturan. Bisa berupa kekaburan makna, ketidakadilan, konflik norma (dua atau lebih undang-undang mengatur hal yang sama sehingga timbul ketidakpastian hukum), kekosongan aturan, ketidakjelasan aturan dan sebagainya. Hasil analisisnya dituangkan sebagai preskripsi (apa yang seharusnya sebagai resep solusi) dengan tetap menjunjung nilai-nilai. Bisa berupa rekomendasi dalam bentuk formulasi (revisi aturan), konstruksi (merumuskan dari kaidah tidak ada menjadi ada, biasanya gagasan pengaturan baru). Dalam khasanah filsafat ilmu, hukum itu disebut ilmu tentang makna karena aksi interprestasi memiliki kedudukan utama mengingat setiap kata menuntut pertanggungjawaban. Lebih dari itu riset hukum juga membutuhkan kemampuan logika dan logika hukum serta penerapan interprestasi terhadap kata, frase, kalimat plus pemahaman yang dalam soal konsep, asas dan teori.
Dengan alat riset hukum tersebut peneliti akan bekerja dengan beragam aksi, antara lain menggali historis pengaturan, mengkaji naskah akademik lahirnya aturan, komparasi aturan dengan berbagai negara, menelisik alasan rasional putusan hakim atas kasus, menafsirkan aturan, inventarisasi konsep serta kegiatan konkrit lainnya berdasarkan kebutuhan. Riset hukum tidak terbatas untuk kepentingan akademik. Profesional di bidang hukum seperti hakim, jaksa, notaris, legal advicer, advokat setiap saat tidak lepas dari rutinitas penelitian hukum untuk kepentingan praktis penerapan hukum. Termasuk akademisi sebagai kontributor ahli yang secara fungsional dituntut memberikan Pendapat Hukum dalam ranah pelayanan publik. Kini jelas sudah, penelitian hukum tidak untuk mengukur disparitas antara kehendak aturan dengan realitas perilaku. Jika hal ini ditemukan, sesungguhnya secara kelimuan bukan riset hukum, namun lebih tepat disebut riset sosial dalam ranah pelaksanaan hukum. Bukan riset hukum.
*) Penulis adalah Kolumnis, Akademisi di bidang hukum dan Dewan Pakar MD-KAHMI Jember