Oleh : Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med
Dengan tetap menjunjung Asas Praduga Tak Bersalah, RRI-Pro.1 FM telah mengungkap kisah. Bukan Abu Nawas tentu saja. Tapi soal Sosialisasi Peraturan Daerah. Orang menyebut dengan istilah Sosper. Menarik, karena diduga ditunggangi kegiatan lain, Kongres Askab PSSI.
Info terakhir, ada beberapa anggota dewan juga ndompleng pada momentum yang sama. Menggelar kegiatan untuk kepentingan partainya. Masyarakat, melalui seorang Abdus Salam menangkap gelagat penyimpangan ini dan melaporkannya.
Perlu konfirmasi : Apakah Sosper dimaksud atas Perda yang sudah disahkan dan diundangkan ataukah hanya sosialisasi program pembentukan Perda ?
Sosialisasi Perda dan Sosialisasi Proses Pembentukan Perda merupakan dua hal berbeda. Tidak ada kewajiban hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk melakukan Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan. Termasuk Perda. Dasarnya jelas. Asas Fiksi Hukum. Semua orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure). Siapapun itu, meskipun yang bersangkutan buta huruf. Tinggal di pelosok terpencil. Jauh dari akses komunikasi. Jika melakukan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum maka alasan tidak tahu akan hukumnya, tidak menggugurkan kewajiban APH melakukan penindakan (ignorantia jurist non excusat).
Disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan kalimat : “Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya”. Lembaran resmi itu adalah Lembaran Daerah / Tambahan Lembaran Daerah / Berita Daerah.
Sosper versi Pemkab, dianggarkan pada APBD 2023. Tercatat pada DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) Sekretariat DPRD Jember sebesar 46 M, di ‘hold’ menjadi 10 M dengan harapan agar setiap anggota DPRD mendapatkan satuan belanja berupa sewa tenda, kursi, meja, mamiri, mamirat, sound, honor narsum, panitia lokal, pembawa acara, moderator, peserta.
Perangkat hukum untuk mengimplementasikan ada pada SK Bupati Jember No. 188.45 / 230 / 1.12 / 2023 tentang Tim Panitia Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Seminar, Workshop, Sarasehan, Simposium / Forum Komunikasi Dan Sosialisasi Program Pembentukan Peraturan Daerah kabupaten Jember Tahun Anggaran 2023. Tim dalam SK melibatkan pihak DPRD dan Bupati. Bupati menetapkan dirinya sendiri sebagai pengarah didampingi Ketua DPRD. Penanggungjawab, Sekretaris DPRD. Sedangkan nara sumber kegiatan adalah anggota DPRD berikut Bupati / Wabup / OPD atau organisasi profesi.
Dapat dipahami, terbitnya keputusan otoritatif di atas adalah merupakan upaya penyebarluasan program pembentukan peraturan daerah. Namun Pemkab salah memaknai. Penyebarluasan tidak memberikan ruang aksi yang ‘menyita’ anggaran.
Penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegda, atau Rancangan Perda yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan.
Penyebarluasan cukup melalui media elektronik dan/atau media cetak atau dilakukan dengan cara mengundang stake holder di tempat resmi milik pemkab. Dengan demikian akan menekan anggaran. Jika penyebarluasan dengan efisiensi anggaran sebagai payung hukum, tentu dapat dipertimbangkan. Tanpa anggaran semacam terop dan perangkat yang menyertainya.
Berdasarkan keputusan otoritatif di atas, ekskutif dan legislatif daerah diberikan kewenangan yang bersifat executable atas beragam kegiatan sosialisasi Program Pembentukan Perda. Pertanyaannya, sejak kapan anggota DPRD diberikan kewenangan melakukan sosialisi Program Pembentukan Perda sebagaimana dalam SK Bupati di atas ? Coba recek regulasi. Adakah dalam PP No.12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota berikut Peraturan DPRD No.1 Tahun 2019 mengatur kewenangan itu ? Apakah Sekretariat DPRD juga memiliki fungsi melakukan sosialisasi Program Pembentukan Perda ? Coba cermati ulang Perbup No. 23 Tahun 2023 tentang KSOTK Sekretariat DPRD Jember.
Apabila atas dua pertanyaan di atas tidak diperoleh jawaban maka secara hukum patut diduga telah terjadi indikasi Abuse of Power. Dasar aturannya UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasa 18 ayat 3 : Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. tanpa dasar Kewenangan. Resiko hukumnya, sanksi Administrasi Berat. ( UU No.30 Tahun 2014 – Pasal 80 ayat 3 dan 83 ).
Jika pejabat dimaksud adalah Bupati, tentu sanksi dimaksud dijatuhkan oleh Gubernur. Jika pejabat pemerintahan tersebut adalah Anggota DPRD maka hal ini diproses oleh Badan Kehormatan sekaligus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan DPRD Jember No. 1 Tahun 2019 – Pasal 62 – Mulai teguran lisan hingga pemberhentian. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menurut UU No.30 Tahun 2014 adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Ingat teori CF. Strong. Pejabat pemerintahan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas termasuk legislatif daerah.
Sosper yang dilakukan salah satu anggota DPRD Jember pada Rabu 11 Oktober 2023 tidak saja salah sasaran namun melekat indikasi kesengajaan. Sosper digelar untuk mengkomunikasikan Raperda tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Namun komunitas undangannya adalah club sepak bola. Sosper dan Kongres Askab PSSI adalah dua hal yang berbeda. Tunduk pada aturan yang tidak sama.
Sosper bersifat komunikasi dengan semua elemen masyarakat. Transfer informasi soal Raperda guna membangun kaidah dari tidak tahu menjadi tahu. Dilakukan untuk menggali saran masukan. Sementara Kongres merupakan acara internal PSSI. Tunduk pada statuta organisasi PSSI. Di dalamnya jelas diatur soal peserta dan hak suara.
Jika dalam tataran kenyataan dua kegiatan dilakukan ‘merger’ maka fakta yang muncul adalah Pertama, telah terjadi penyalahgunaan anggaran Sosper; Kedua, Diskriminasi terhadap club. Seharusnya menghadirkan 76 club lekat dengan hak suara, namun yang diundang hanya 49 club. Dengan demikian pelaksanaan kongres melanggar Pasal 5 Statuta PSSI tentang Netralitas dan non-diskriminasi, meskipun legalitas kongres menjadi persoalan tersendiri.
Berdasarkan pasal tersebut dalam ayat 2 maka pelaku yang patut diduga, potensial mendapatkan sanksi. Secara administrasi bisa saja mengarah pada pemberhentian. Tapi jangan lupa, kasus Sosper ini menjadi lebih seksi karena pelaku bisa dijerat pidana. Siapapun sebagai subjek pelakunya, telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang lazim disebut Wederrechtelijk. Terutama dalam konteks korupsi dengan pintu masuk ranah administrasi. Terbuka kelak dilakukan sidik dan lidik soal aliran dana, inkonsistensi peruntukan, mark-up, suap, fee dan sebagainya.
Apakah Sosper menjadi rahim kenduri korupsi ? Wallahu a’lam bishawab.
*)Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember.