Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Tradisi Kejut Seratus Hari Pemerintahan Daerah

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med

Sudah tradisi dalam praktek ketatanegaraan RI. Mulai Presiden, Gubernur hingga Bupati / Walikota baru. Seolah menjadi kewajiban mencanangkan urgensi seratus hari awal pemerintahan.  Tradisi dimaksud tak lebih sebagai terapi kejut. Bersifat politis untuk merawat emosi publik sekaligus akselerasi aksi demi meyakinkan masyarakat sebagai The Legimate New Couple. Pasangan Bupati dan wakil bupati yang sah menjalankan periodesasi masa jabatan.

Sah berarti demokrasi yang membidani pemimpin tidak cacat prosedur. Implikasinya, sah pula  kewenangan yang melekat pasca dilantik nantinya. Bupati dan wakil punya legitimasi landasan otoritas sebagai pejabat berikut kewenangan yang menyertai secara atributif. Artinya, bupati dan wakil bupati terikat menjalankan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk perintah, larangan atau perkenan.

Secara historis, tradisi seratus hari kerja pemerintahan sebenarnya diinspirasi oleh Franklin Delano Roosevelt. Beliau adalah presiden ke 32 Amerika Serikat. Roosevelt telah berhasil memperbaiki perekonomian Amerika Serikat dalam 100 hari pertama di awal masa jabatannya. Keberhasilan ini tentu saja membangun keyakinan publik akan komitmen seorang presiden atas narasi politik yang digelorakan di hadapan publik.

Konsep program seratus hari Rooesevelt yang ditiru dalam tradisi ketatanegaraan RI hingga pemerintahan daerah tentu berbeda dengan otentisitas konsep Roosevelt. Jika Roosevelt membangun fakta tuntas problema maka pemerintah dan pemerintah daerah di negeri ini  tentu tidak mudah menggaransi target serupa. Tak gampang  program seratus hari pemerintahan daerah  diberlakukan untuk menuntaskan berbagai masalah karena beragam sebab. Antara lain konsekuensi patologi internal birokrasi, koordinasi dengan legislatif daerah dan konsultasi publik sebagai perintah aturan dalam konteks ketatanegaraan. Butuh waktu, energi dan biaya.

Program seratus hari kerja yang selama ini menjadi tradisi ketatanegaraan sesungguhnya tidak memiliki akar normatif. Tidak ada satupun aturan hukum yang memerintahkan, meskipun norma juga tidak melarang.  Program seratus hari kerja halal dijalankan meskipun juga tidak haram apabila tidak diterapkan. Terdapat plus – minus sebagai resiko apabila program seratus hari kerja yang dilakukan menegasikan beragam pertimbangan. Jangan sampai terjadi kesenjangan perspektif antara pemerintah dengan masyarakat dalam lingkup teritorial dicanangkannya program.

Program seratus hari pemerintahan daerah harus dirumuskan secara terukur. Sementara orang berpikir, dengan program seratus hari beragam masalah tuntas diatasi. Semua harapan akan terpenuhi. Berbagai kemudahan tak lagi menjadi mimpi. Seratus hari seolah menjadi wahana membalik telapak tangan. Terjadi kejutan positif yang selama ini dikehendaki.

Orang tak lagi melihat bagaimana kebijakan harus diwujudkan. Khalayak tak mungkin menyadari pentingnya regulasi. Masyarakat tak akan berpikir sinkronisasi pelaksanaan pembangunan. Bahkan siapapun bisa jadi cuek atas anggaran dan mekanisme menyerapan yang dibutuhkan. Di sinilah letak kecermatan dan kehati-hatian program ini digulirkan karena semuanya butuh proses integrasi kelembagaan. Relasi ekskutif dan legislatif serta kebersamaan dan kekompakan Bupati serta wakil bupati.

Pekerja / buruh tentu kecewa jika dalam seratus hari pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai Keputusan Gubernur. Masyarakat akan meratap dalam waktu seratus hari apabila harga sembako tidak segera turun. Orang banyak menggerutu jika proses perijinan dalam banyak hal masih berbelit dan berbiaya tinggi.

Petani menjadi apriori jika suply pupuk masih tidak berkepastian. Mahasiswa setempat akan turun berunjuk rasa jika janji beasiswa masih sebatas cita-cita. Pengguna objek wisata akan marah jika potensi wisata tidak terjamah. Aktifis perempuan akan turun ke jalan jika angka perceraian tetap stagnan tidak menunjukkan keberhasilan. Daerah lain akan menyorot jika dalam waktu yang dicanangkan angka Pekerja Migran ilegal tidak berkurang.

Tidak mungkin pemerintah daerah yang baru akan bertindak seperti pesulap. Jalan berlobang sekejab halus mulus tanpa gelombang. Lapangan terbang serta merta beroperasi dengan trayek sana sini.  Di sinilah pentingnya kecermatan dan kehati-hatian bahwa program seratus hari pada hakikatnya terobosan di tepi jurang.

Secara teoretis dalam ilmu pemerintahan, ada asumsi deduktif bahwa masalah-masalah pemerintahan terutama pemerintahan daerah hampir mustahil diselesaikan dalam hitungan bulan. Apalagi dalam hitungan hari. Begitu banyak problem internal pemerintah daerah. Terutama menyangkut respon birokrasi. Tak mudah disimplifikasi. Reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, kebangkitan ekonomi, perbaikan nasib petani, peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi orang miskin, keadilan gender serta persoalan mendasar lain tidak mungkin tuntas dalam seratus hari.

Perubahan mendasar di lingkup teritorial kabupaten / kota di Indonesia tidak bisa dilukis dan disimpulkan di atas meja dengan statistika dan angka. Publik tidak butuh angka, namun fakta yang lebih konkrit dan terasa. Sementara kultur birokrasi daerah dan dinamikanya  mewariskan perilaku wait and see serta miskin marwah pelayanan.  Perkembangan sosial politik terakhir di tanah air yang menjadikan geliat internal pemerintahan daerah masih mengindikasikan bahwa kekuatan respons pemerintahan daerah belum secepat yang diharapkan.

Konsep program seratus hari pemerintahan daerah penting direkonstruksi agar masyarakat tidak berbeban harap yang pada gilirannya membebani pemerintah daerah. Justru menjadi strategis jika seratus hari pemerintahan daerah tidak dirumuskan untuk menyelesaikan masalah. Program seratus hari justru efektif untuk merawat keyakinan publik guna merawat rasa memiliki.

Program seratus hari pemerintahan derah lebih arif difungsikan untuk meyakinkan integritas dan chemistry Bupati dan wabup. Turun peduli sebagai aksi gali aspirasi. Menyapa dengan sopan terhadap mereka yang selama ini dipinggirkan keadaan. Turun merangkul justru mengobati siapapun entitas yang selama ini terpukul.

Program seratus hari pemerintah daerah ibarat menata lapangan terbang dengan harapan kepemimpinan baru bisa landing tanpa gangguan. Sudah saatnya menyudahi pesta kemenangan karena kerja cerdas dibutuhkan untuk menjawab impian banyak orang. Jangan sampai program seratus hari diterapkan justru acakadut sehingga masyarakat menjadi cemberut. Selamat menggagas program seratus hari.

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Orda Jember dan Mediator berlisensi Mahkamah Agung.

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.