Diksi.co.id, Banyuwangi | Gelombamg penolakan Rancangan Undang-Undang Penyiaran masih terus terjadi. Setelah wartawan dari berbagai kota melakukan aksi unjukrasa, Senin (20/5/2024) siang ratusan wartawan Banyuwangi yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Banyuwangi (AJB) menggelar aksi unjuk rasa.
Para jurnalis kota gandrung itu menolak RUU Penyiaran pasal 50B ayat 2 huruf C, Pasal 50B ayat 2 huruf K, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2, yang terkesan membungkam kemerdekaan pers, bertempat di DPRD Banyuwangi.
Pasal-pasal yang direvisi itu, sangat jelas merugikan wartawan dalan menjalankan tugas jurnalistiknya. Apalagi, dalam draf RUU penyiaran itu, di pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, sangat jelas merugikan wartawan. Pasalnya, pemberitaan investigasi itu, media media mampu mengungkap kasus dugaan korupsi.
“Karya jurnalistik investigasi itu mampu mengungkapkan kasus-kasus dugaan korupsi, lha kok dilarang, ini kan aneh,” tegas Budi Wiriyanto dalam orasinya.
“Karena draf RUU ini sangat merugikan, dan membungkam kemerdekaan pers, maka dari itu , wartawan Banyuwangi dengan tegas menolak RUU,” imbuhnya, yang langsung disambut teriakan “Tolak RUU penyiaran, tolak RUU penyiaran,” ujar ratusan massa wartawan serentak.
Budi Wiriyanto menegaskan kembali, penyusunan draf RUU penyiaran, hingga menimbulkan kegaduhan ini, sangat bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Masalah produk jurnalistik itu bukan ranahnya Komisi Penyiaran. Tapi ranahnya Dewan Pers. Di UU Nomor 40 itu sudah jelas, jika ada delik pers, itu urusannya dewan pers,” tegasnya.
Hal senada disampaikan ketua IJTI Banyuwangi, Samsul Arifin alias Bono
Menurutnya sistem tata negara demokrasi di Indonesia ini, pers merupakan pilar keempat dari demokrasi.
Ia mengungkapkan, Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik.
“Selama karya jurnalistik memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televisi,’ ujar Bono.
Lebih lanjut Bono mengatakan, pada draf RUU penyiaran, pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Saya memandang pasal 50B ayat 2 huruf K ini sangat membingungkan dan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers,” ungkapnya.
Bono membeberkan, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyeleseaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers
“Penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR,” bebernya.
Maka dari itu kata Bono, setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.
“Sesuai UU 40 Tahun 1999 itu, yang bisa menyelesaikan sengketa pers itu ya dewan pers. Bukan KPI,” pungkasnya. (Lin).