Oleh: Dr. Aries Harianto S.H.,M.H.,C.Med *)
Selamat datang 2024. Tahun dimana kalah menang pilpres diambang pintu. Momentum yang membuat orang menepuk dada karena jagonya juara. Sementara yang lain berurai air mata menelan kecewa. Pilpres sebagai manifestasi demokrasi disinyalir membelah komunitas hakiki. ‘Aku menang, Engkau kalah’. Jika demikian, maka pilpres menjadi ujung pisau. Lancip menusuk keberagaman. Tajam menyayat hingga potensi mengoyak tulang persatuan dan kesatuan. Pilpres membuka kemungkinan membelah integritas untuk bersatu. Memutus mata rantai dalam relasi lintas batas. Menghalangi komitmen membangun harmoni. Menancapkan dendam. Menggores luka menganga. Meninggalkan nestapa dan merontokkan jembatan silaturahmi yang tak gampang diperbaiki. Pilpres melahirkan euforia golongan karena kemenangan paslon. Berproses hingga terbangun oligarki baru di gedung parlemen. Atas nama kuasa penyelenggara negara, tercipta koneksitas. Kolusi merambah di sana sini. Korupsi tumbuh subur tak pernah mati. Apakah hipotesa ini kelak terjadi, tunggu saja setelah 14 Februari nanti.
- Pilpres itu bagian dari demokrasi. Bukan hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah dimaknai secara gagal paham. Demokrasi diasumsikan sebatas proses membidani figur capres sebagai jalan menuju kuasa kelompok. Gradasi Demokrasi telah terjadi. Demokrasi seolah sebatas proses menjual dan membeli. Untuk dan atas nama calon, semua aksi dilakukan. Budaya malu dan rasa salah ditabrak, sementara aturan diakali untuk diinjak. Netralitas hanya jargon verbalitas. Sedangkan politik uang terus melenggang.
Beragam element menjadi mesin pendulang suara. Mabuk calon menjangkit melebihi pandemi. Tiap detil ranah sosial diwarnai polemik dan pembelaan. Bukan perdebatan mengkompromikan kebenaran. Saling sikut dan sikat dengan pembenarannya masing-masing. Afiliasi paslon menciptakan multipolarisasi opini. Sampah berita dan perang statistika menjadi tema utama medsos. Berserak dalam lalulintas obrolan group Whatsapp. Masyarakat miskin selektifitas. Tumpul daya kritis. Sementara emosi berserak kian mengganas. Sentimen lebih dikedepankan daripada argumen. Seperti genderang. Terus ditabuh hingga eskalasi modulasinya memekakkan telinga.
Sebagian agamawan blingsatan mengikuti irama. Asyik joget tak ubahnya mabuk tanpa minuman. Sajadahpun ditinggalkan untuk amplop atas nama pelayanan. Sebagian lainnya duduk bersila menutup telinga. Bahkan saking kerasnya suara genderang, pada gilirannya meluluhlantakkan genting diteras rumah NU. Satu genting jatuh dan pecah berupa keping pemecatan seorang ketua di tingkat wilayah.
Pilpres 14 Februari 2024 nanti menghasilkan 1 paslon Presiden dan Wakil terpilih. Bukti legitimasinya adalah suara terbanyak. Bukan soal siapa yang terpilih, namun figur terpiih adalah representasi pilihan terbanyak diantara paslon lainnya. Terbanyak dalam tataran politik dikenal dengan istilah suara mayoritas. Suara mayoritas identik dengan suara Tuhan. Dalam bahasa Latin disebut dengan Fox Populi Fox Dei sebagai bentuk pengagungan terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan berangkat dari sebuah asumsi. Kehendak memilih dalam sistem daulat rakyat pasti mencerminkan maslahat. Maslahat adalah status atas akumulasi rakyat banyak. Karenanya figur paslon terpilih memiliki kapasitas pro-rakyat. Berkarakter problem solver. Berjiwa agamis, amanah, akomodatif, arif bijak, aspiratif, dan adil. Logikanya, sepakat banyak orang dipastikan melahirkan maslahat untuk umat. Bila Tuhan diyakini sebagai sumber maslahat, maka konsensus banyak orang atas kemaslahatan merupakan indikator kehendak Tuhan. Dari situlah muasal simpulan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.
Fox Populi Fox Dei telah menyihir dan mempersuasif khlayak. Sedemikian tingginya aspirasi rakyat sehingga diposisikan sebagai suara Tuhan. Fakta demikian tentu saja tidak boleh diabaikan. Sebagai pengejawantahan demokrasi, sah-sah saja narasi ini diyakini. Namun dalam kajian filsafati, narasi ini merupakan hasil mencuri. Mencuri otoritas Tuhan yang digunakan sebagai stempel demokrasi. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan sering kali tidak dipahami mendalam. Orang acapkali tidak mengetahui akar genealoginya. Ditelan begitu saja tanpa sanad filsafatnya. Secara filsafati, postulat Fox Populi Fox Dei mengandung logical fallacy (sesat pikir). Betapa tidak. Rakyat sebagai manusia disejajarkan dengan Tuhan. Tuhan adalah causa prima (penyebab utama dan pertama yang tak disebabkan lagi).
Tuhan merupakan potret kebenaran. Sementara rakyat adalah kumpulan manusia. Lekat dengan sifat manusiawinya. Sarat keterbatasan dan tidak pernah punya rumus kebenaran mutlak. Manusia tidak pernah mengetahui suara Tuhan. Mustahil jika manusia mewakili suara Tuhan.
Demokrasi tidak pernah punya definisi tentang Tuhan. Dalam perspektif sistem, keberadaan presiden terpilih kelak tidak cukup menjalankan otoritasnya secara tunggal. Artinya, Presiden terintegrasi secara politis. Terikat dalam relasi komitmen dan dituntut melakukan kompromi atas beragam kepentingan. Butuh aksi politik konkrit dari seorang Presiden dalam timbangan ‘aku dapat apa, kamu minta berapa’. Konstitusi disembunyikan sehingga tak lagi bisa berfungsi sebagai neraca. Sementara utang luar negeri terus melimpah menjadi beban anak cucu kita. Lantas, di mana Tuhan berada ? Fox Populi Fox Dei ternyata hanya fiksi belaka. Dikatakan figur terbaik, bukan ketika Paslon Capres Cawapres itu terpilih, tapi ruang dan waktu setelah Anis / Prabowo / Ganjar tuntas menjalankan jabatannya.
*) Penulis adalah Kolumnis, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD-KAHMI Jember.