Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)
Jember memang sarat cerita. Kaya dinamika. Terutama menyangkut implementasi pemerintahan daerah. Aktual dan terpercaya, sontak masyarakat dikejutkan dengan episode baru. Bocoran draft kesepakatan DPRD dengan Bupati perihal proses revisi Perda RTRW. Hingga kini tak seorangpun tahu finalisasi draft kesepakatan itu. Termasuk anggota DPRD sendiri karena penanda-tanganan sepenuhnya menjadi otoritas pimpinan.
Realitas itu merupakan cermin, sebuah proses regulasi yang tidak mudah diakses masyarakat. Kontradiktif dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan – Pasal 96 jo. Pasal 354 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 166 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Semua regulasi tersebut memberikan justifikasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Perda berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dalam UU UU No.12 Tahun 2011 termasuk kategori peraturan perundang-undangan. Dengan demikian revisi Perda No. 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember tahun 2015-2035 secara normatif wajib dibuka ruang partisipasi masyarakat. Akses partisipasi masyarakat bisa diwujudkan dalam bentuk rapat dengar pendapat, kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Akses masyarakat terhadap proses revisi Perda RTRW Jember dilakukan tidak sebatas perintah aturan hukum.
Lebih dari itu substansi Perda RTRW sangat berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi tujuan dari Perda RTRW untuk mengoptimalkan tata ruang sebagai landasan pembangunan berbagai bidang berbasis potensi lokal.
Lokalitas semacam ini tentu saja menempatkan aspirasi masyarakat menjadi prioritas. Bahkan perihal kecolongan soal perijinan beberapa waktu tidak lagi menjadi penyebab utama urgensi dilakukannya revisi Perda RTRW. Harus dipisahkan substansi normatif dengan aspek penegakan hukumnya berupa konsistensi implementasi Perda RTRW. Menyangkut perijinan tempo hari, tidak lain adalah soal komitmen dan konsistensi pelaksana hukum. Untung saja mata dan sensitifitas masyarakat menangkap basah perbuatan dimaksud sehingga pembangunan hotel bintang 4 dihentikan. (Radar Jember, 30 Agustus 2023).
Kembali pada hot issue kesepakatan DPRD dengan Bupati perihal proses revisi Perda RTRW. Dengan asumsi bahwa draft dimaksud telah ditanda-tangani para pihak, maka terdapat catatan penting sebagai Nota Keprihatinan. Refleksi gagal paham atas proses revisi regulasi Perda RTRW. Draft kesepakatan itu dibuat sebagai wujud komitmen DPRD dengan Bupati Jember.
Ada 8 (delapan) hal telah terumuskan. Bersifat normatif. Bahkan seharusnya tidak penting dijadikan objek kesepakatan. Betapa tidak.
Disebutkan dalam kesepakatan pada poin (1), substansi Raperda RTRW (revisi) Kabupaten Jember mengacu pada Permen ATR / Kepala BPN No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Propinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana Detail Tata Ruang – Pasal 11 ayat (1). Aneh, peraturan perundang-undangan dijadikan objek kesepakatan. Permen ATR / Kepala BPN No.11 Tahun 2021 itu dibuat dengan keberlakuan yang bersifat imperatif. Secara serta-merta berlaku. Bersifat nasional. Suka atau tidak, ketaatan pemerintah daerah untuk menggunakan landasan hukum dimaksud bersifat mutlak. Bukan opsional. Tanpa dicantumkan sebagai poin kesepakatan sekalipun, secara normatif otomatis berlaku. Tidak ada dasar rasional yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum manakala pemerintah kabupaten Jember menegasikan aturan itu. Mencantumkan dalam kesepakatan suatu produk hukum yang bersifat imperatif, tidak memiliki pengaruh apapun. Dis-efisiensi. Bahkan terkesan bodoh.
Komitmen kesepakatan serupa sebagaimana poin (1) diulang pada poin (4). Disebutkan pada poin (4) bahwa rencana struktur ruang dan pola ruang pada RTRW Kabupaten Jember berpedoman pada keputusan dan peraturan perundangan yang berlaku baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Dalam kaidah hukum dan akademik, disiplin hirarki pasti diterapkan. Jika Perda RTRW produk revisi ini nantinya tidak mengindikasikan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam Pasal 7 ayat (1) dalam UU UU No.12 Tahun 2011, secara hukum Perda RTRW menjadi batal demi hukum. Tidak perlu dideklarasikan soal penundukkan hirarki suatu aturan dalam klausul perjanjian. Tanpa dinyatakan dalam kesepakatan, konsekuensi keberlakuan aturan secara hirarki mutlak berlaku. Hal lain yang patut dicermati adalah soal inkonsistensi.
Disebutkan dalam Poin (2), bahwa tujuan penataan ruang di kabupaten Jember untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten yang berbasis agribisnis didukung oleh pertanian, pariwisata, perikanan dan usaha ekonomi produktif yang berkelanjutan dan berbasis potensi lokal. Namun pada poin (3) kesepakatan justru disebutkan perihal pentingnya penggambaran pemanfaatan ruang untuk usaha pertambangan, peternakan dan pariwisata. Pertambangan dan peternakan tidak menjadi objek prioritas dalam tujuan penataan ruang. Muncul begitu saja tanpa pertimbangan rasional yang seharusnya telah melalui uji akademik. Termasuk tentang gumuk dan pesisir.
Menyusun Perda, apalagi revisi tidak cukup dengan asumsi. Seharusnya proses Perda RTRW diawali dengan pemaparan hasil kajian Forum Penataan Ruang Daerah (FPRD) Jember. Hasil kajian itu memuat evaluasi yang dituangkan dalam bentuk data berupa statistika, fakta dan bila perlu fakta hukum. Dengan demikian inisiatif melakukan revisi Perda RTRW memiliki argumentasi rasional, objektif dan masuk akal. Beragam data, fakta dan fakta hukum yang ada seharusnya terangkum dalam Neraca Tata Ruang. Tak ubahnya semacam Daftar Inventarisasi Masalah sebagai dasar pembahasan yang pada gilirannya menjadi landasan isu strategis revisi Perda RTRW. Jika hal ini tidak dilakukan maka berbagai problem yang muncul sebelum revisi akan terulang kembali pada tahun berikutnya. Kecuali jika kenyataan potensial ini memang sengaja dikehendaki.
FPRD bersifat institusional. Menjadi political brief bupati dalam mengambil keputusan atau kebijakan di bidang administrasi negara. Termasuk memberikan ijin atau sebaliknya dalam konteks RTRW. Berdasarkan referensi FPRD diharapkan dapat diperoleh arah dan orientasi yang jelas mengatasi beragam persoalan RTRW baik jangka pendek aatau jangka panjang. Jangka pendek bersifat problem solver, sedangkan jangka panjang merupakan haluan substantif terhadap proses revisi Perda RTRW. Tanpa upaya mengakomodasi data, fakta, fakta hukum, maka bisa ditebak Perda RTRW nantinya menjadi rangkaian kalimat mati tanpa preskripsi. Perda RTRW hasil revisi kelak bisa jadi menjadi produk gagal paham. Ironi, sementara masyarakatnya dinyatakan berprestasi oleh Kemenkumham melalui 57 Desa/Kelurahan sebagai masyarakat sadar hukum, namun faktanya justru elit SDM pemerintah daerahnya tidak menginsyafi hukum.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan dan Dewan Pakar MD KAHMI