Oleh : Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memang tidak populis. Berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah (MU). Keduanya memiliki karakteristik tersendiri. Memiliki basis konstituen yang masif. Komplit dengan akar tradisi yang terbagi. NU dan MU dibentuk untuk menjawab persoalan masyarakat. Mengawal dinamika demi kemaslahatan umat. Merawat kebangsaan dalam kerangka kesejahteraan. NU dan MU keduanya telah membuktikan komitmen dan konsistensinya meskipun metode aksi mewujudkannya tidak sama. NU itu sarat dengan beragam kitab, namun ‘tak punya’ katalog. Acapkali gagap realitas. Bahkan kadang nampak emosional.
Sementara MU tertib katalog, namun sedikit kitab. Aksinya lebih sistematis dan cold. Meskipun tak sedahsyat NU dalam membangun opini. Keduanya kontributif. Fungsional merawat peradaban dalam berbagai skala. Harmoni. Nir benturan karena pangsa umatnya memahami garis perjuangan masing-masing. Keduanya mengkomunikasikan nilai jihad tentang betapa pentingnya akal dan hati. Rasio dan emosi. Saling mengontrol mewarnai aksi bagi NKRI.
NU dan MU berikut ormas lainnya adalah manifestasi bahwa perbedaan itu rahmat. Perbedaan dalam berkontribusi menjawab masalah umat. Perbedaan bukanlah perpecahan. Berbeda tidak harus pecah. ‘Akan pecah umatku menjadi 73 golongan. Semua masuk surga, kecuali satu’. Menurut peneliti hadist, perpecahan di sini dimaksudkan sebagai perbedaan pendapat. Berapapun banyaknya perbedaan pendapat itu tercipta, sesungguhnya sangat alamiah. Karenanya perbedaan akan membawa orang masuk surga. Hanya pendapat yang membenarkan maksiat akan membawa orang ke neraka.
Spirit perbedaan ini menjadi bagian potret diri ICMI. Dalam tubuh ICMI tak lagi menyoal benih perdebatan mana sunnah, mana bid’ah. Sumberdaya Manusia ICMI bicara soal Islamisasi sains, ekonomi, politik, seni, budaya dan masyarakat. Tidak menyoal cara sah berhaji, tapi lebih fungsional membahas upaya mengimplementasikan nilai kehajian. Bukan lagi mempolemikkan jumlah rokaat sholat tarawih yang disunnahkan, namun lebih afdol membahas nilai tambah pribadi dari shalawat tarawih. Bukan lagi berkutat tentang perbedaan fakir dan miskin, namun bagaimana upaya mengoptimalkan kualitas hidup keduanya.
Lantas, siapa itu cendekiawan ? Orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis adalah ilmuwan. Mereka yang bergelut dalam penerapan praktis adalah teknokrat. Siapapun yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif adalah moralis.
Cendekiawan adalah manusia yang ingin menggabungkan semuanya. Cendekiawan adalah integritas relasi. Mewakafkan pemikiran dan tenaganya sebagai bentuk aksi memanusiakan manusia dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan. Siapapun itu. Tidak harus lulusan perguruan tinggi. Apalagi doktor atau profesor. Dengan demikian, siapapun yang hidupnya menyepi dalam pertapaan di lereng-lereng gunung atau hanya bertahta di “atas awan” atau “puncak menara gading”, tidak serta merta dapat dimasukkan ke dalam komunitas kaum cendekiawan sampai dia “turun gunung” dan melibatkan dirinya ke dalam diskursus publik.
Cendekiawan mungkin tidak bisa dipersatukan bila nilai yang melatarbelakangi berlainan. Bahkan perbedaan pendapatnya tidak mungkin bisa dikompromikan apabila tidak dikendalikan oleh norma-norma yang disepakati. Lebih-lebih di tahun politik seperti saat ini. ‘Kami mempunyai nilai-nilai yang sama, yakni Islam. Kami terikat oleh sumber norma universal, Alqur’an dan Al-Sunnah. Demikian seruan pendiri ICMI saat mereka kumpul di Universitas Brawijaya pada tahun 1991. Pernyataan yang cukup mengakar itu hingga kini masih melekat sebagai bagian dari liputan pers saat saya berstatus sebagai mahasiswa dan tertanam di salah satu Harian Umum Nasional ternama. Atribut ‘Muslim’ dalam ICMI bukanlah penegasan primordialisme. Muslim dalam hal ini hanya penegasan nilai. Bukankah cendekiawan adalah hommes engages (manusia yang terikat oleh kewajiban untuk menerapkan nilai) ?
Jember ancang-ancang membidani lahirnya ICMI. Tidak berlebihan jika disebut dengan istilah ICMI Reborn. Para calon pengurus telah diwadahi atas pertimbangan tertib komunikasi. Heterogen. Multi profesi. Beragam latar belakang. Indah sekali. Ada seniman, budayawan, akademisi, pengusaha, wirausahawan, profesional, ulama, praktisi dan sebagainya. Pas momentumnya. Mereka berkumpul disatukan dalam ikatan nilai yang sama. Beorientasi pada Rahmatal Lilaalamin. Menjunjung Amar Ma’ruf Nahyi Munkar.
ICMI Jember sebagai organisasi satuan si daerah dituntut berafiliasi pada visi misi organisasi. Tegas memposisikan diri sebagai Independent Variabel dalam konteks perubahan. Bukan sebaliknya. ICMI Jember bukan penghamba terhadap superioritas persoanal politik. Dijaga ketat untuk tidak menjadi alat politik siapapun dan oganisasi manapun.
ICMI Jember diharapkan mau dan mampu mengawal penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan preskripsi terukur, objektif dan berpikir dari perspektif publik. Kritis melakukan analisis, getol melakukan kontrol, tidak alergi dengan beragam opini, apalagi sakit hati.
ICMI Jember tidak lebih sebagai oasis. Mengobati dahaga bagi siapapun di padang tandus yang sarat dengan friksi dan gesekan agar tidak terjerumus. ICMI Jember diharap bisa menjalankan peran sebagai kompas atas kebijakan apapun yang tidak pas karena ICMI harus menunjukkan netralitas. Biarkan ICMI Jember lahir secara alami, tanpa operasi caesar yang dipaksakan. Namun jangan lupa kelahiran ICMI banyak ditunggu. Publik berbeban harap segera terealisasi dan tak sabar ingin mendengar jerit teriakannya. Bahkan sementara orang menanti, ingin melihat kepal tangannya untuk menunjuk dan meninju. ICMI Jember Reborn, ditunggu menjadi Lakon.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember