Sabtu, Juni 7, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Menyulap Berkas Menjadi Beras

Oleh : Martin Rachmanto,*)

Belum hilang dalam ingatan ketika kejaksaan negeri Bondowoso diobok obok KPK. KPK turun gunung dalam rangka operasi tangkap tangan (OTT). Alhasil Kajari berikut Kasipidsusnya diamankan. Melekat dugaan kasus suap dalam relasi proyek. KPK terus bergerak. Bondowoso diretas, kabupaten sekitarnya menjadi cemas.

Bisa jadi seperti bola salju. Tidak hanya di Bondowoso. OTT potensi terjadi di tempat lain. Seputar area Tapal Kuda, hingga Jember. Tidak berlebihan jika dikatakan daerah hanya menunggu antrian. Menunggu giliran menggunakan rompi oranye dan menjadi headline media. Ngeri, sudah pasti. Penyesalan tak bisa dipungkiri. Tapi itulah penegakan hukum.

Mengapa demikian ? Fenomena pagar makan tanaman dalam konteks kasus di Bondowoso memang seksi untuk dikaji. Betapa tidak. Bukan rahasia umum jika selama ini cukup banyak berkas perkara disulap menjadi beras secara serta merta. Anekdot menyulap berkas menjadi beras tentu bukan barang baru. Marak bermunculan seiring dengan kecerdasan masyarakat merespon realitas penegakan hukum yang kian memprihatinkan. Lambatnya proses penegakan hukum, hingga lenyapnya layanan keadilan merupakan rekayasa oleh oknum aparat penegak hukum (APH) membuat masyarakat mengelus dada merasa kecewa.

Ulah (APH) acapkali bermain dibawah meja. Negosiasi yang mengubur konsistensi. Perkara menjadi objek transaksi. Sanksi hukum laris menjadi objek jual beli. KUHP diparodikan menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Keberadaan Jaksa menjadi miskin wibawa. Itulah satu sisi wajah hukum di negeri ini. Carut marut atas ulah oknum jaksa pada gilirannya meniadakan potret jaksa sebagai penuntut, tapi penurut. Penurut bagi siapapun yang berkepentingan betapapun nabrak aturan. Lebih dari itu oknumisasi jaksa semacam itu secara fungsional membangun potret diri jaksa sebagai backing pengaman. Kontradiksi dengan peran yang diharapkan.

Di seantero negeri ini, termasuk di wilayah tapal kuda hingga Jember fenomena inkonsistensi APH potensial terjadi. Terutama menyangkut ploting pengerjaan proyek. Tidak sulit dengan menggunakan oknum APH, pihak penggarap yang berkepentingan melakukan ‘tekanan’ terhadap oknum birokrat sebagai panitia guna mendapatkan proyek penunjukan langsung. APH tidak lebih sebagai alat guna menekan otoritas. Komoditas penekannya adalah menanamkan rasa takut akan bayang-bayang penjara. Tujuannya jelas. Monopoli atas dominasi kaveling pengerjaan sebagai proyek. Akibatnya, relasi proyek menegasikan aspek profesionalitas dan mengubur kualitas hanya atas musabab rasa takut. Objektifitas menjadi hilang karena alat penekan yang menabur ketakutan. Proyek penunjukan langsung pada akhirnya digerakkan oleh rasa takut sebagai wujud keterpaksaan. Mengapa ketakutan itu tumbuh berkembang ? Jika tidak merasa melakukan perbuatan melawan hukum, tentu tidak ada alasan rasional bagi panitia proyek untuk takut dengan ancaman. Fenomena inipun bisa jadi merupakan indikasi terjadinya inkonsistensi di internal panitia terhadap aturan menyangkut pengadaan barang dan jasa. Terutama tentang Perpres No.12 Tahun 2021 dan Undang Undang 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi.

Berdasarkan kenyataan demikian tidak salah jika masyarakat kehilangan trust terhadap para pihak terutama terhadap simpul-simpul otoritas di manapun. Sangat kontradiktif dengan jargon semangat yang disampaikan Jaksa Agung ST Burhanuddin yakni “Membangun Legacy Yang Lebih Dipercaya Masyarakat” saat pertama kali diangkat sebagai Jaksa Agung.

Korupsi dengan beragam modusnya terus melenggang. APH yang seharusnya menegakkan hukum justru mencari celah hukum. APH yang seharusnya bertindak tegas justru menjadi ‘pemeras’. Dimainkan oleh gelap mata. APH yang secara fungsional diharapkan menegakkan hukum, justru dalam kenyataannya melahirkan cukup banyak oknum. Di sinilah pentingnya kontrol masyarakat berikut media. Dituntut berani menjadi APH menuju NKRI bersih dan berwibawa. Problema di negeri ini bukan soal aturan. Komitmen membangun NKRI agar bersih dari korupsi secara normatif sudah lebih dari cukup. Mulai TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, UU no 28 tahun 1999 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN, termasuk UU nomor 20 tahun 2001 jo UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hingga UU No.31 tentang KPK. Namun semua itu belum menuntaskan korupsi. Jika demikian, lantas kepada siapa masyarakat mengadu. Haruskah reformasi kembali ke titik nol ?

*) Penulis adalah mantan jurnalis yang kini aktif menjadi pengusaha, juga sebagai Wakil Ketua GAPENSi Jember.

 

 

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.