Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Hari ini 22 Desember. Diperingati sebagai Hari Ibu. Monumental dan sakral. Nasional menundukkan kepala. Bersimpuh di pangkuan ibu. Khidmad untuk dan atas nama harkat martabat. Tanpa upacara, apalagi tabur bunga. Senyap tanpa ucap. Kumbang-kumbang berhenti sesaat mengisap sari madu kembang. Dilakukan demi rasa hormat kepada kaum ibu yang tak pernah sambat. Hiruk pikuk euforia jelang pilpres sejenak menahan nafas. Hening. Dengung kepak sayap lalat dan nyamukpun sirna, entah ke mana. Begitu dahsyatnya engkau ibu. Energi magismu membungkam kuasa. Siapapun itu. Ibu adalah representasi Tuhan. Tidak salah jika Nabi mencanangkan prioritas. Ibumu, ibumu, ibumu. Tiga kali. Setelahnya bapakmu.
Peradaban terus menjunjung dan menyanjung ibu. Mengapresiasi serta menghargai. Mengagungkan bahkan memuliakan. Memuji sekaligus mencintai. Melekatkan menjadi nilai betapa mulia perjuangan ibu. Tak heran dalam liriknya, Iwan Fals menarasikan fakta pengurbanan itu sedemikian menyentuh : ‘….ibuku sayang, masih terus berjalan / Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah..’ / Demi anak, ibu telah mati rasa. Berjihad membagi nutrisi untuk bayi di perutnya. Setelahnya meniupkan atmosfir agar anak tak kehilangan oksigen hingga ke hilir. Membisikkan adzan agar kekasih buah hatinya terlatih mendengarkankan seruan alam. Tak lupa menyalakan lentera agar anak tetap dalam pelita terang menjalankan amanah-Nya. Karena kasih ibu, seorang Zawawi Imron begitu cermat menentukan diksi dalam puisi cerdas imaginya : ‘…kalau aku merantau lalu datang musim kemarau / sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting / hanya mata air, air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir. Bahkan Gus Mus-pun memataforkan figur ibu sebagai gua teduh / gunung / kawah / mata air.
Ibu, di manapun tak pernah minta pengakuan. Tak butuh validasi, apalagi diekspose menjadi story. Ibu tak pernah mengharap tepuk tangan. Apalagi puja sanjung yang absurd dan nampak lembut. Ibu, adalah kearifan itu sendiri. Selalu tersenyum menyembunyikan haus dan lapar. Tak ada satupun kekuatan logika bisa menghalangi rasa kasih kepada ibu. Usia ibu terus bertambah. Gurat keriput dan putih ubannya terus merata. Semakin detail kerut wajahnya, adalah pertanda betapa deras sungai keringatnya. Menoreh bekas tanpa menuntut balas. Tak adil jika sorga hanya di telapak kakinya. Ibu tidak pernah pergi, apalagi mati. Ketika kegelapan bersarang, dengan mengenangmu akumulasi beban sontak berkurang. Ibu adalah problem solver bagi siapapun. Menyejukkan bak setetes embun yang jatuh dari sehelai daun.
Jangan berisik. Ibu saat ini tengah duduk diam. Tafakur menahan pilu di teras rumah. Berpayung mendung. Bartabur gerimis. Nampak anggun. Berkebaya merah putih dibalut kain panjang bercorak pecah kopi. Sesekali menyeka keringat. Gejolak batinnya menggedor dada. Tapi cukup kuat menahan air mata. Sorot matanya menahan rindu tak tertahan. Sementara hatinya menyimpan duka yang dalam. Menunggu anak-anaknya kembali pulang. Sembari menggoyangkan kursinya pelan, sang ibu bertanya kepada semilir angin. Seperti Emha sang pujangga, ketika menanyakan hal serupa kepada kemapanan. Tanya ibu : ‘Kemana anak – anak itu / Anak – anak yang dilahirkan oleh seluruh bangsa ini dengan keringat, luka, darah dan kematian / Anak-anak yang dilahirkan oleh sejarah, derai air mata tiga setengah abad / Ke mana ? Siapa yang menyembunyikan mereka ? / Siapa yang menculik mereka ? / Siapa yang meracuni dan membuang meraka? Anak yang ibu maksud bernama cinta kasih sesama. Harmoni. Kampanye yang tidak saling caci. Indahnya keberagaman. Toleransi. Etika berinteraksi. Tidak korupsi. Intgeritas moral. Harga diri. Hak Asasi. Komitmen berbagi kesejahteraan. Hak untuk tenteram. Profesional. Kejujuran. Keberanian. Tidak culas dan arogan.
Dahsyatnya kerinduan pada sang anak tak merubah istoqomah kesabarannya. Menunggu, entah sampai kapan. Ibu, tetap membawa sorga yang telah dijanjikan. Bahkan tak hanya di telapak kaki, namun setiap detail jiwanya adalah sorga itu sendiri. Meski tak lagi bening, namun merah putih samar keliatan masih bersinar di dalam butiran kristal air mata sorganya. Sementara kita penghuni sorga, tidak serius dengan nilai. Bahkan terhadap Tuhanpun, setengah hati. Setangkai mawar tak cukup mewakili baktiku. Air mataku juga tak mampu mengganti oase ikhlasmu. Tugasku kini menggali nasihat di pusara tempatmu berbaring. Berbahagialah di sisi-NYA. Terimakasih atas kehangatan pelukmu. Ibu, maafkan aku.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember