Jumat, Juni 6, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Pidana Dibalik Pernikahan Dini

Oleh : Fina Rosalina, SH.,MH *)

Kabupaten Jember sebagai pencetak Janda Usia Sekolah (JUS) tertinggi di Jawa Timur. Demikian headline media di awal tahun. Kepala Perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menginformasikan bahwa di Tahun 2023 telah terjadi perceraian pada perempuan muda di Jember sebanyak 189 kasus dari total 2.922 JUS di Jawa Timur. Sebelumnya, angka JUS tercatat pada tahun 2021 sebanyak 227 JUS dan Tahun 2022 sebanyak 256 JUS. Sebuah anomali yang patut dipertanyakan. Betapa tidak. anak yang seharusnya berjuang untuk menggapai masa depan cerah harus memutar haluannya untuk berjuang menghidupi dan membesarkan anak sebagai seorang single mom. Mirisnya ternyata Pengadilan Agama (PA) Jember mencatat pada tahun 2023 terdapat 1.200 permohonan dispensasi kawin, dan sebanyak 95% atau 1.140 permohonan dispensasi kawin telah dikabulkan.

Pernikahan usia sekolah sepertinya mulai menjadi trend. Tidak hanya dikota Jember, bahkan dalam lingkup Global, United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2023 telah mencatat Indonesia sebagai Negara peringkat ke-empat dalam perkawinan anak global dengan jumlah kasus sebanyak 25,53 juta.
Sebelumya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah mendorong pencegahan perkawinan anak melalui implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA). Meskipun telah mengalami penurunan 8,60% dari target RPJMN tahun 2022, namun sepertinya belum ada dampak yang signifikan mengingat total kasus perkawinan anak yang begitu fantastis.

Sebenarnya apa yang salah dengan memasuki dunia pernikahan diusia sekolah? Bukankah pernikahan menghindari zina, sebab jaman pergaulan sudah amburadul..? Siapa yang mau membiayan hidup anak kami, sedang kami orang tua yang tidak mampu..? Atau mau ditaruh mana muka kami, anak kami sudah hamil…? Pembelaan semacam itu terus mengakar.

Berdasarkan Putusan MK No 22/PUU-XII/2017 diketahui bahwa batasan usia kawin bagi laki laki dan perempuan telah dipersamakan yaitu pada usia 19 Tahun. Dasar pertimbangannya adalah, usia tersebut telah dianggap siap secara lahir bantin untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Pundemikian, Negara telah mempertimbangkan dan mengantisipasi timbulnya beragam masalah atas pernikahan usia anak. Misal saja, Pertama, Aspek kesehatan: Usia anak yang menikah dan melakukan hubungan seksual dibawah sembilan belas tahun cenderung lebih rentan memiliki resiko kanker serviks atau mulut Rahim. Atau masalah kesehatan lainnya, misal, perkawinan usia anak yang sangat memicu terhadap gangguan pertumbuhan bagi anak keturunannya (stunting).

Kedua, Aspek Psykis: Calon Pengantin Usia Anak dianggap belum siap secara kejiwaan. Calon Pengantin Usia Anak belum memiliki kematangan dalam mengurus keluarga. Sehingga rentan sekali terkena KDRT dan berujung pada perceraian. Ketiga, Potensi menurunnya kualitas hidup: Usia 19 Tahun merupakan usia standart menyelesaiakan study sampai dengan Menengah Atas . Memaksakan pernikahan sebelum usia tersebut menimbulkan beberapa permasalahan dantaranya mulai dari putus sekolah, pengangguran, pekerja dengan upah rendah dengan titik akhir melahirkan angka kemiskinan baru. Jelas ini bukan perkara sederhana yang bisa diabaikan begitu saja. Angka 19 Tahun, merupakan usia minimal yang muncul atas pertimbangan yang kuat.
Tidak dapat dipungkiri memang, Pemerintah-pun masih belum yakin betul apakah usia tersebut bisa diterapkan secara paten. Hal tersebut terbukti dengan masih diberikannya peluang untuk dapat disimpanginya batas usia kawin yaitu melalui UU No16/2019 Tentang Perkawinan.Mekanisme untuk menyimpangi batasan usia kawin disebut dispensasi kawin. Alasan dispensasi kawin adalah “keadaan sangat mendesak”. Tapi tidak jelas apa yang menjadi parameter “keadaan sangat mendesak”.

Sejatinya mekanisme dispensasi kawin melalui Pengadilan merupakan upaya mempersulit dilakukannya kawin diusia anak, namun dalam praktik upaya tersebut tidak mampu membendung keinginan para orang tua untuk segera menikahkan anaknya. Banyak orangtua yang memanipulasi data hanya untuk dikabulkannya permohonan dispensasi kawin. Orang tua akan selalu mengupayakan yang terbaik untuk anaknya. Begitulah Fitrahnya…!! Namun demikian, setidaknya terdapat konsekuensi hukum yang gagal dipahami oleh para orang tua dalam menikahkan anaknya di usia muda.
Menikah adalah Hak Asasi yang dilindungi oleh hukum. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri, bukan atas dasar paksaan pihak ke-tiga. Adanya suatu tindakan berupa paksaan perkawinan terhadap anak, tergolong dalam kekerasan berbasis gender dalam kategori tidak pidana kekerasan seksual. Tidak main main, ancaman pidananya sampai dengan sembilan tahun penjara.

Ultimum remedium memang, penerapan sanksi pidana terhadap pemaksaan kawin anak merupakan upaya terakhir. Namun harus dipandang bahwa, langkah ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap anak dari upaya nikah paksa yang bahkan dilakukan oleh orang tua atau orang-orang terdekatnya sendiri. Muncul pertanyaan, bagaimana sikap kami sebagai orang tua. Apakah para orang tua tidak diijinkan untuk ikut campur dalam urusan pernikahan anaknya? Bukankah ikut campur orang tua merupakan bentuk kasih sayang berupa bimbingan kehidupan?

Pemaksaan perkawilan terhadap anak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. UU No12/2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan panduan, bahwa yang dimaksud dengan memaksa perkawinan terbagi atas tiga jenis yaitu memaksa anak belum cukup umur menikah; memaksa menikah atas nama budaya; dan yang terakhir, memaksa menikahkan korban perkosaan dengan pelaku.

Berdasarkan hal tersebut maka ada dua hal dasar yang perlu untuk dipahami yaitu, Pertama, Apa yang dimaksud dengan pemaksaan, dan Kedua, Apa defini dari jenis-jenis pemaksaan perkawinan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut.
Pertama, definisi memaksa. Memaksa diartikan dengan desakan berupa paksaan atau kekerasan agar mau menerima apa yang diperintahkan. Paksaan ini bisa dalam bentuk ancaman, imbalan, ataupun intimidasi. Sedangkan desakan tersebut berasal dari orang sekitarnya, missal saja orang tua ataupun keluarga.

Kedua, defini dari jenis-jenis pemaksaan perkawinan. Jenis pertama yaitu memaksa anak belum cukup umur. Kriteria anak cukup umur ini terdapat beberapa perbedaan pandangan dalam beberapa UU, missal KUHPerdata menyatakan anak usia dewasa 21 Tahun, KUHPidana menyatakan usia dewasa adalah 18 tahun, sedangkan UU perkwainan yang kemudian diperbaiki melalui putusan MK No 22/PUU-XII/2017 , usia dewasa adalah 19 tahun. Namun bila berpedoman pada asas lex specialism , maka usia 19 tahun merupakan usia yang seharusnya dijadikan batasan.
Selanjutnya dengan alasan budaya: anggapan perawan tua, perjodohan, rasa malu akibat hamil diluar nikah, menutupi aib keluarga, budaya membawa lari kawin anak perempuan, merupakan alasan yang timbul atas dasar persepsi dari masyarakat. Keadaan ini adalah keadaan yang sangat merugikan Calon Pengantin, terutama perempuan. Maka alasan alasan tersebut seharusnya tidak diperkenankan sebagai alasan perkawinan atau bahkan alasan pengajuan dispensasi kawin.

Terakhir adalah memaksa menikahkan korban perkosaan dengan pelaku. Keadaan ini biasanya dilakukan untuk menghapuskan sanksi pidana bagi pelaku pemerkosaan. Namun, sekali lagi keadaan ini menjadikan perempuan sebagai korban menjadi korban untuk kedua kalinya. Mekanisme restorative justice secara terselubung dengan menikahkan anak dengan pelaku kejahatan tidak dibenarkan dalam hukum.
Bentuk tindak pidana memaksa kawin ini sangat perlu untuk dipahami oleh orang tua atau orang-orang sekitar anak. Tentu saja untuk membedakan konteks kasih sayang dan mana yang masuk kriteria tindak pidana. Selain hal tersebut, bilamana merujuk pada pendekatan intrepretasi sistematika hukum, Seorang Hakim, terutama di Pengadilan Agama Jember, dapat menjadikan jenis perbuatan paksaan perkawinan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai pertimbangan dalam permohonan dispensasi kawin. Sebab sejauh ini belum ada batasan jelas tentang apa yang dimaksud “keadaan sangat mendesak” dalam UU Perkawinan. Tentu saja tak lain fungsinya adalah untuk mengurangi kenaikan angka perkawinan usia anak.
‘Problemnya, hukum pidana belum mampu menembus aspek paksaan dalam perkawinan. Apalagi jika fakta demikian dibalut lapisan budaya. Atas nama ketaatan guna menghindari predikat Maling Kundang, maka penikahan dini terus melenggang.
Guna menghindari paksaan perkawinan anak, bisa saja sang anak melaporakn orangtuanya. Sebab hal tersebut dibenarkan dalam hukum. Namun demikian, seharusnya mekanisme tersebut tidak perlu sampai dilakukan bilamana terdapat pencegahan secara sistematis. Mulai dari pemahamanan internal keluarga atas bahaya dan konsekuensi hukum paksaan perkawinan, terutama pada anak, Hingga kesatuan sikab antara Aparatur Hukum dan Pemerintahan Daerah dalam pencegahan kawin usia anak. Tentusaja itu semua bukan himbauan penulis, Namun jelas amanat dari Undang Undang Perlindungan Anak.
.

*)Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember; Devisi Hukum dan Advokasi ICMI Jember

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.