Penulis: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *
Diksi.co.id | Kampus adalah lingkungan perguruan tinggi. Orang menyebut dengan istilah Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi atau Institute. Menjalankan tugas Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Dikenal dengan istilah Tri Dharma Pergruan Tinggi. Prestasi perguruan tinggi diframing secara sistemik, yang dikenal dengan istilah akreditasi. Diterapkan dalam kerangka menjaga dan meningkatkan kualitas kelembagaan, baik nasional hingga internasional.
Beragam komponen secara normatif harus dipenuhi. Satu diantaranya, akselerasi mahasiswa mengantongi ijasah plus Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Terlepas lulusan itu memiliki kemampuan berpikir atau tidak. Angka IPK memang penting, namun bukanlah identitas kompetensi primer. Angka sakral itu tidak lebih sebatas bukti administrasi telah berproses pada jenjang pendidikan yang dilakoninya. Tidak serta merta mewakili kompetensi dan skill individu lulusan.
Frans Magnis Suseno dalam suatu seminar, telah melansir bahwa tugas perguruan tinggi bukanlah mengisi mahasiswa dengan segala macam pengetahuan, melainkan dengan pengetahuan itu mahasiswa diharapkan mampu untuk berpikir sendiri. Berdasarkan pemikiran demikian, maka dapat dipahami bahwa keberhasilan pendidikan, terutama pendidikan tinggi dapat dievaluasi dari sejauhmana mahasiswa mampu bertanya. Bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan prinsipal. Itulah kampus berikut dinamika yang seharusnya ada.
Tidak heran jika Romo Mangun Wijaya menyinggung sensitifitas kampus dengan menyatakan bahwa memberikan jawaban, apalagi atas pertanyaan yang tidak ditanyakan dalam dunia kampus, sungguh menjemukan, melumpuhkan, pada akhirnya mematikan kecerdasan intelektual.
Sebaliknya, mengajukan pertanyaan dan mempertanyakan yang ada justru merangsang pikiran, mengundang keterlibatan intelektual, mendobrak wawasan kaku dan sempit, menguak cakrawala dan tentu saja mencerdaskan. Dengan kata lain, kampus bukan tempat menyajikan jawaban untuk mengakhiri usaha intelektual.
Kampus seharusnya merangsang beragam pertanyaan guna memulai usaha intelektual. Tri Dharma Perguruan Tinggi pada gilirannya menjadi wahana mahasiswa memulai untuk bertanya sekaligus menunjukkan integritasnya. Sekali lagi, kampus sebagai lembaga pendidikan formal mengajarkan peserta didik untuk bertanya. Bukan mengunyah kembali jajanan yang telah out of date dan nir-relevansi.
Mahasiswa hanya mencerminkan dosen mereka. Kalau mahasiswa tidak kreatif, berarti dosennyapun pasif dan tidak inovatif. Jika mahasiswa tidak bisa bertanya, tentu saja dosennya tidak mampu merangsang berfikir. Patut dievaluasi, mungkin sang dosen tidak mau dan tidak mampu serta tidak berani berfikir. Apalagi berpendapat, bahkan ciut nyali untuk berdebat.
Ironi dalam era modernisasi jika hal ini masih terjadi di lingkungan kampus seantero negeri ini. Kontradiktif dengan pemikiran Max Weber yang menempatkan rasionalitas sebagai karakter jaman. Rasionalitas sebagai alat sekaligus ouput dialektika.
Isu strategis yang urgen untuk dijawab, benarkah saat ini tengah terjadi darurat dialektika kampus ? Dialektika adalah kata yang tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kampus. Dialektika berasal dari kata dialog. Komunikasi dua arah. Dikembangkan pada masa Yunani kuno dalam pengertian entitas yang ‘terus berubah’. Kemudian Hegel menyederhanakan dalam makna yang lebih fungsional bahwa ‘terus berubah’ menjadi hukum berpikir. Intinya, tidak pernah ada kebenaran yang absolut. Lebih konkrit, Hegel merumuskan pengertian dialektika ke dalam trilogi : tesis – anti tesis – sintesis. Trilogi ini menjadi perspektif tunggal sebagai justifikasi kampus. Kampus sebagai persemaian ekstrim pertengkaran pikiran, perdebatan dan pertarungan argumentasi hingga saling silang produk pemikiran.
Di kampus, menghina pemikiran orang jauh lebih terhormat daripada mencuri pikiran orang (plagiasi). Kampus tidak mengenal keabadian pemikiran karena keabadian itu sendiri merupakan perubahan pemikiran yang perenial. Tidak berlebihan jika dikatakan, atmosfir kampus adalah dialektika itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang final dalam ranah kehidupan kampus. Dialektika itu niscaya sebagai konsekuensi ‘ideologi’ kampus yakni falibilism. Falibilism merupakan doktrin filosofis yang menyatakan bahwa semua pengetahuan bisa salah. Beberapa fasibilis bahkan berkata bahwa kepastian mutlak pengetahuan itu tidak mungkin.
Kampus bukan stempel yang membakukan pemikiran. Apalagi melekatkan label ‘final’. Kampus identik dengan percakapan guna merawat peradaban. Kampus merupakan sumber sekaligus referensi kebudayaan. Kampus bukan alat politik yang melayani order untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan yang mengancam musnahnya percakapan sehingga kampus terjerembab dalam siklus mematikan jatidirinya. Mandul dan cacat reproduksi. Tidak mampu menjadi rahim yang melahirkan fakta-fakta dan jawaban beragam problema.
Tidak bisa dipungkiri, gairah akademik melahirkan berbagai pusat kajian disiplin ilmu dan lintas disiplin. Ketika kampus dihadapkan pada tataran fungsinya untuk meng-apikan demokrasi dan kontrol kritis, namun yang terjadi justru sebaliknya. Pusat Studi Pancasila dibentuk justru gebyar produknya mengubur dialektika terhadap Pancasila. Lahirlah jargon Pancasila sudah final. Pancasila harga mati. Lantas untuk apa dilakukan kajian ketika lembaga dimaksud justru menyimpan asumsi finalisasi. Terus di mana percapakan dan kajian itu menemukan pembenarannya. Itu hanya contoh.
Fakta dinamika dialektika kampus yang perlu dikoreksi. Ketika meledak kasus Sambo, Polri tercoreng, kehilangan kepercayaan publik, kampus justru tiarap. Tidak ada warna headline dialektik. Kampus sembunyi dan menyimpan asumsi dalam paradok….’ hindari dialog soal Sambo karena kampus telah menjalin Nota Kesepahaman dengan Polri ‘. Kampus menjadi teralinasi dengan tugas konstitusionalnya.
Mahasiswa dikandangkan, dipersuasif bahkan ditekan agar menyambut pejabat pusat tidak dengan spanduk unjuk rasa guna membangun citra kampus bersih dari masalah. Tidak sadar, kampus telah membrangus potensi berekpsresi, memasung daya kritis, membelokkan logika dan menutup mahasiswa untuk bertanya.
Intelektual berperang dengan argumentasi, apapun konteksnya tidak akan berkompromi. Jamu penyegar alam fikiran akademik adalah debat, diskusi, kebiasaan untuk saling menyangkal.
Secara sederhana dapat dirumuskan : orang intelektual sungguhan justru krasan dalam debat namun perdebatan itu justru merupakan pengikat kerukunan diantara mereka. Bukan sebaliknya. Guru besar dan para doktor serta ilmuwan termashurpun acapkali bereaksi seperti anak kecil. Gampang tersinggung. Terbawa perasaan (baper). Iri hati, menutup pintu mengakui prestasi orang lain, tidak bisa berpikir objektif apabila pendapatnya tidak diikuti. Tak ubahnya seperti sabda pandita ratu. Menuntut untuk diamini, mengharap selalu dipuji.
Kritik adalah bagian dari dialektika. Setiap kritik selalu dituntut untuk menambah kata ‘membangun’. Kritik membangun, tidak pada tempatnya pada pertukaran dan pengujian ide-ide di kampus. Seperti telah dilihat Herakleitos, dan dianalisa mendalam oleh Hegel. Menurutnya, kemajuaan intelektual kampus akibat tabrakan dialektis antara fikiran-fikiran yang berlawanan. Perang bukan induk segalanya, tetapi dalam ranah intelektual debat adalah pendobrak kemandulan.
Melihat potret diri dinamika dialektika kampus dewasa ini membuat banyak orang mengelus dada. Para dosen tidak dihadapkan pada tugas pokok dan fungsi mengasah pemikiran. Menghindari aksi perdebatan. Mengajar tidak lebih sebatas menyampaikan, bukan menggugah daya kritis. Tekstual Thingking. Bermodal Power Point yang sebenarnya menunjukkan kemiskinan Power untuk mempersuasif pemikiran mahasiswa.
Para dosen kini sarat dengan beban administrasi. Tidak ada ruang mengeksplorasi potensi pemikirannya, dan tidak sempat menggali asupan kognitifnya. Dosen dewasa ini dikejar laporan menuntaskan Beban Kerja Dosen (BKD), dituntut mengerjakan Borang, menyusun portofolio diri, menyelesaikan target publikasi, terlibat kepanitiaan, menindaklanjuti berbagai laporan, monitoring Sister, tugas tambahan hingga tuntutan untuk mengintegrasikan pada aplikasi ini-itu. Lantas, kapan realitas semacam ini akan berakhir ? Belum terjawab pertanyaan itu, seorang teman, Gus Kosim panggilannya, bergegas memasang bendera putih bertulis : Darurat Dialektika Kampus.
*) Kolumnis dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Dewan Pakar MD KAHMI Jember – Mediator berlisensi Mahkamah Agung dan Pembina Sarikat Buruh Muslimin Indonesia Jember