Oleh : Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Memori sejarah naiknya Megawati, SBY hingga Jokowi tidak saja karena perjuangan partai. Psyco-kognitif pemilih waktu itu juga turut andil. Menentukan, karena ketiga figur itu mengalami jejak sejarah yang relatif sama. Dikuyo-kuyo menjadi mulyo. Siapa yang disakiti potensi memimpin negeri. Konsep ini tidak saja masih diyakini, tetapi telah terbukti. Masih ingat, ketika Megawati dikepung tekanan Rezim Orba. Dibatasi ruang geraknya. Dirampas gedung partainya. Darah mengucur tidak kepalang. Bercampur air mata. Mengkristal menjadi tekat. Mengejawantah nyalakan lentera perjuangan. Kudatuli (Kerusuhan dua puluh tujuh Juli) orang menyebutnya. Siapapun tak pernah melupakan. Perempuan kuat itu justru menempatkan dirinya sebagai ‘orang-kalah’. Artinya, membangun potret diri  sebagai orang yang dikorbankan, dipinggirkan dan dihujani nestapa.
Siklus ini terus berlangsung. Dalam proses perjalanan pencapresan 2004, SBY pernah ‘disentil’ Taufik Kiemas. Dikatakan sebagai ‘anak kecil’. Jenderal Bintang Empat yang tak berani menghadap Presiden. Ibu Mega waktu itu. Sontak masyarakat merespon. SBY menerima simpati sebagai capres yang direndahkan. SBY diuntungkan dengan arogansi Taufik Kiemas sehingga dirangkul masyarakat. Dielus dan disayang. Ditempatkan dalam sangkar emas seperti halnya Megawati dulu. Sby figur orang kalah. Simpati masyarakat menjadi titian melenggang menuju RI-1. Sungguh di luar dugaan. Takdir menentukan. Sby sebagai Presiden. Pun juga Jokowi. Framing sebagai orang kalah juga melekat pada dirinya. Disebut orang kalah karena Jokowi representasi rakyat jelata. Jauh dari intelek. Performance tidak good looking. Lepas dari kesan mewah. Penyabar karena tidak pernah melawan terhadap hinaan. Keaktoran seorang Jokowi semacam ini justru menjadi strategi. Tangan Tuhan menggariskan Jokowi sebagai Presiden RI. Bahkan humanisme seorang Jokowi terbawa menjelang akhir jabatan. Dihina tetap tegar. Bahkan ketika penghina menderita sakitpun, Jokowi tetap bertandang mengunjungi. Sekali lagi psykologi orang kalah ternyata menjadi strategi kemenangan.
Apakah causalitas ‘orang kalah’ sebagai hukum sebab akibat masih berlaku menuju pilpres 2024 ? Masyarakat pemilih tergerak menentukan pilihan karena rasa iba. Terhadap siapapun calon pemimpin puncak. Presiden RI. Segmentasi demikian lepas dari afiliasi. Bukan simpatisan. Tidak terikat kelompok militan. Namun bisa muncul menjadi ledakan. Tidak tergerus pengaruh janji. Tak gampang dipengaruhi program. Apalagi kemasan murah yang menonjolkan seragam. Konsep ‘orang kalah’ memiliki metodenya sendiri. Bisa jadi tetap berlaku atau sebaliknya. Kamus politik menyebut dengan istilah ‘playing victim’. Orang-orang kalah yang selalu dikalahkan dengan beragam cara. Diposisikan menjadi objek. Tanpa disadari ada dinamika psykis di baliknya. Tercipta akumulasi sehingga terjadi proses empati massif. Melahirkan identifikasi diri, dipersembahkan sebagai simpati dan dukungan kepada calon. Demikian selanjutnya, bahwa siklus palying victim ini potensi menemukan jalannya sendiri.
Proses Pilpres 2024 still running well. Anis, Probowo, Ganjar memiliki sejarah, karakter, pola, gaya dan metodenya masing-masing. Dikuatkan melalui lebih dari satu lembaga survey. Difungsikan untuk beragam tujuan menuju kemenangan. Bahkan diantara lembaga survey masing-masing calon tercipta perang statistika. Dimainkan dalam ranah industri politik sekaligus psywar. Statistika survey tak lebih sebagai alat mendongkrak keyakinan publik. Menegasikan objektifitas, meskipun dalam hal tertentu digunakan sebagai evaluasi tim sukses masing-masing.
Metode survey, gerakan massif dan sistematis, termasuk konstruksi aksi partai pendukung bisa diyakini sebagai metode. Strategis dan akurat, meskipun sebatas estimasi. Harus disadari, langkah strategis yang dimainkan bukanlah metode tunggal. Sisi lain berhadapan dengan gerakan politik uang. Lebih konkrit dan kontan dirasakan pemilih. Tidak ribet. Dahsyat mempengaruhi proses pengambilan keputusan individu. Politik uang tidak menyoal besaran ukuran baner maupun dahsyatnya slogan. Reputasi capres dalam bernegara, pengalaman di tiga lembaga kekuasaan, kepiawaian penguasaan bahasa asing, daya jelajah internasional, akar religiusitas, prestasi, keberanian, popularitas medsos, banyaknya jamaah tentu  tidak serta-merta mempengaruhi pengambilan keputusan pemilih.
Dalam perspektif playing victim, bullying soal asam volat menjadi asam sulfat juga bisa melahirkan simpati. Masyarakat pemilih kini lebih prakmatis. Tak lagi bicara soal ideologi karena saat ini masyarakat hidup bukan pada era melawan. Masyarakat pemilih berorientasi pada kebutuhan sesaat. Makan hari ini. Tidak lebih dari itu. Siapa problem solver hari ini, pada gilirannya dipandang menjadi subjek solusi. Dipilih, tanpa reserve ideologi. Politik uang menjawab tantangan dimaksud. Masyarakat butuh kehadiran negara sebagai wujud kasih. Merefleksi secara psycologis sehingga masyarakat mengekspresikan rasa yang terpendam dengan membagi kasih juga. Mengkasihi capres siapapun yang menurut pandangannya dalam posisi dikurbankan. Rasa mengkasihi sebagai iba bertemu dengan politik uang menjadi segmentasi tersendiri.
Keberhasilan pemilu 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang. Sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Politik uang masih menentukan peran. Ditegaskan oleh Survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019. Masyarakat memandang pesta demokrasi sebagai ajang ‘berbagi rejeki’. Tidak hanya dari sisi masyarakat, politisi pun turut membangun tradisi demokrasi transaksional. Politisi menganggap votes buying (membeli suara) adalah sesuatu yang lumrah. Dilakukan dengan keyakinan bisa mengalahkan rivalnya. Terjadi prisoner’s dilemma di antara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia juga melakukan hal yang sama.
Berdasarkan fenomena di atas muncul pertanyaan : Apa urgensi Debat Capres dilakukan ? Adakah tautan signifikan antara Debat Capres dengan konstituen dalam pemilihan ? Apakah Debat Capres secara fungsional menjadi tuntunan pendewasaan demokrasi ataukah sebatas tontotanan di tengah krisisi hiburan ? Ataukah panggung selfi ? Terlalu jauh menyebut Debat Capres sebagai kontestasi komparatif. Debat Capres dikonsumsi sebagai tontonan, bukan tuntunan edukasi visioner. Dikonsumsi masih pada ruang emosi bukan kognisi.
Debat Capres sebatas ceremony untuk membangun kesan harmony para Capres mengingat keberadaannya sebagai representasi keberagaman. Pentingnya harmoni di NKRI merupakan kebutuhan karena pada hakikatnya persatuan dan kesatuan masih sebatas cita-cita. Negarawan di negeri ini cenderung menyelamatkan kerukunan dan berusaha menjauhkan disharmoni pasca pilpres. Tidak heran jika Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengkomunikasikan hasil kajiannya atas Debat Capres mulai 2004 hingga 2019. Menurutnya Debat Capres tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pemilih. Bahkan jumlah penonton debat capres yang disiarkan langsung pun cenderung sedikit dibandingkan dengan total pemilih 204 juta orang. Bagaimana dengan Debat Capres 2024 ? Apakah politik uang gampang dilibas dan dibersihkan ? Tunggu opini saya berikutnya.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember
Â
Â