Sabtu, September 14, 2024
spot_img

DIKSI UPDATE

Dicuri, Hak Upah Buruh Jember 2024

Oleh :Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)

Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jember 2024 telah ditetapkan Gubernur. Besaran nominalnya Rp. 2.665.392,00. Dituangkan dalam Keputusan No.188/656/KPTS/013/2023 tentang UMK / Kota Di Jawa Timur Tahun 2024, tertanggal 30 November 2023. Efektif berlaku 1 Januari 2024. Besarannya lebih rendah dari rekomendasi Bupati Jember hasil perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab), yakni Rp.2.668.341,14. Kemana selisih Rp.2.949,- (Dua ribu sembilan ratus empat puluh sembilan rupiah) itu ? Salah tulis di meja Gubernur ataukah sengaja dicuri ?.

Secara normatif tegas diatur dalam PP No.36 tahun 2021 tentang Pengupahan yang kini telah direvisi melalui PP No.51 tahun 2023. Disebutkan dalam Pasal 33 bahwa penghitungan UMK dilakukan oleh Depakab. Hasil penghitungan disampaikan kepada Bupati / Walikota. Kemudian Gubernur menetapkan hasil rekomendasi Bupati / Walikota setelah meminta saran Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov). Isu hukum yang harus dijawab, apa dasar otoritas Gubernur merubah rekomendasi Bupati ? Tidak ada alasan hukum bagi Gubernur untuk menyulap angka rupiah rekomendasi kabupaten. Otoritas Gubernur sebatas ‘menetapkan’. Menetapkan memiliki arti menjadikan tetap, mempertahankan supaya tetap (lestari, tidak berubah, menentukan, memastikan, memutuskan, menunjuk, meneguhkan, menguatkan). Menetapkan memberikan pemahaman menutup ruang intervensi demi pengamanan.

Gubernur tidak memiliki justifikasi otoritatif untuk  merubah, sepanjang output rekomendasi Bupati dihasilkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Baik prosedur, formulasi hitung maupun komponen yang digunakan. Kalau perubahan itu terjadi karena alasan salah tulis, justru fakta demikian nampak tidak akademis. Salah tulis tidak pernah ditemukan dalam kasanah bernegara. Salah tulis adalah dalih yang jauh dari profesionalitas. Lepas dari asas kecermatan dan kehati-hatian. Bertolak belakang dengan Asas-Asas Good Governance. Sedangkan jika dalih perubahan itu hasil saran dan pertimbangan Depeprov, tentu saja layak dipertanyakan. Tidak ada satupun klausul dalam peraturan perundang-undangan yang melegitimasi alasan kewenangan Depeprov mengotak atik output rekomendasi Bupati.

Cermati konsideran (b) Keputusan Gubernur No.188/656/KPTS/013/2023. UMK merupakan rekomendasi Bupati/Walikota dan hasil sidang Depeprov Jatim. Frase ‘rekomendasi Bupati/Walikota’ ditempatkan lebih awal sebelum frase ‘hasil sidang Depeprov Jatim’. Artinya, dalam konteks konsideran dimaksud, rekomendasi Bupati/Walikota menjadi prioritas. Objek konkrit yang harus ditetapkan. Salah sekalipun, tidak ada alasan mengalihkan kewenangan kepada pihak lain untuk merevisi. Depeprov sebatas memberi saran dan pertimbangan. Sifatnya bisa digunakan atau tidak oleh Gubernur. Bobot saran dan pertimbangan secara hukum tidak berarti memberikan kontribusi besaran baru untuk ditetapkan menjadi UMK. Jika hal ini terjadi maka keberadaan tugas pokok dan fungsi Depekab dianggap sama dengan ketidakberadaannya. Depekab telah diamputasi peran sertanya. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Gubernur telah menabrak aturan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan – Pasal 98 jo. Permenaker No.13 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penggantian Anggota Dewan Pengupahan dan Tata Kerja Dewan Pengupahan-Pasal 35 jo. PP No.36 tahun 2021 plus  PP No.51 tahun 2023.

Haruskah output Depekab dalam membidani nominal UMK yang direkomendasikan Bupati digugurkan oleh Depeprov ? Depekab tentu lebih tahu kondisi dan kebutuhan daerah menyangkut upah.

 

Komponen yang digunakan dalam menentukan UMK merupakan representasi daerah kabupaten. Tidak ada tautan logis jika Depeprov yang secara hirarkis berada di tingkat Provinsi kemudian memposisikan diri mengambil alih atas tupoksi Depekab kabupaten. Perubahan angka nominal keputusan Gubernur ini tidak saja salah menerapkan  hukum tetapi juga sesat logika dalam kaidah akademik. Menimbulkan ketidakpastian karena melahirkan preseden buruk yang melumpuhkan spirit Depekab pada tahun mendatang. Tidak salah jika muncul opini, untuk  apa Depekab berproses menjalankan tupoksi tahunan jika pada akhirnya produk yang menyerap dana APBD Kabupaten itu hanya menjadi angka di atas kertas tanpa bisa diretas oleh buruh dan keluarganya.

Selisih angka UMK versi Gubernur dan Bupati memang tidak banyak. Namun sangat berarti bagi bagi buruh. Hukum bukan soal angka, namun ketika otoritas telah dipangkas maka ketidakpastian muncul yang pada gilirannya melahirkan ketidakadilan. Ketidakadilan yang disebabkan karena salah pengambilan keputusan guna menentukan dan menetapkan UMK justru menciderai Asas Pakta Sunservanda.

Depekab tidak saja mengisi besaran komponen dalam wilayah kerjanya, tetapi juga menyita energi guna membangun kompromi yang  populis dengan istilah kesepakatan. Kesepakatan antar unsur Depekab tidak semudah membalik telapak tangan. Sarat dengan tabrakan kepentingan. Kesepakatan menjadi UU bagi yang para pihak yang membuat. Di dalam Depekab terdapat unsur Pemerintah, Buruh, Pengusaha dan Pakar / Akademisi. Rekomendasi Bupati merupakan akumulasi kompromi dengan mengakomodasikan ragam pertimbangan. Kompromi yang mewujud menjadi kesepakatan bisa dibatalkan jika melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Dapatkah Gubernur membuktikan bahwa rekomendasi UMK Bupati Jember telah menabrak tiga hal tersebut ?

Tidak saja Jember. Kenyataan semacam ini bisa juga terjadi pada daerah lain. Ketika kritik dan konfirmasi diarahkan kepada Gubernur, jawabnya bisa ditebak. Jika buruh tidak menerima Keputusan Gubernur tentang UMK Tahun 2024, silakan menggugat ke pengadilan. Tidak salah jika jawaban itu menjadi respon Gubernur karena ranah penyelesaian sengketa penetapan UMK ada di Pengadilan Tata Usaha Negara. Persoalannya, putusan pengadilan tidak serta-merta menuntaskan masalah. Berperkara identik dengan biaya. Buruh tidak memiliki akses, awam hukum, hanya punya tenaga, dan miskin biaya. Sementara penyelenggara negara dalam kapasitasnya sebagai pejabat memiliki semuanya. Apalagi jika berselingkuh dengan pengusaha. Karenanya tidak heran jika buruh selalu menjadi objek penderita. Sampai kapan ?

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar KAHMI Jember

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.