Minggu, September 15, 2024
spot_img

DIKSI UPDATE

Fenomena Bumbung Kosong dan Problematikanya

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)

Orang menyebut dengan istilah Bumbung Kosong. Bumbung adalah tabung bambu. Secara historis merupakan ikon wadah aspirasi. Menampung jumlah biting (bukti suara) atas nama calon dalam perhelatan pilkades jaman dulu. Jumlah bumbung mengikuti jumlah calon. Logikanya, jika ada tiga calon tentu tersedia tiga bumbung yang berisi biting. Jumlah biting dalam bumbung tentu berbeda antara satu dengan yang lain. Jumlah terbanyak adalah pemenang.

Bumbung kosong adalah ekspresi realitas atas satu calon. Tidak ada kompetiter atau pesaing. Hanya satu calon yang bisa disetujui atau sebaliknya. Jika setuju, surat suara ditempatkan pada bumbung sang calon. Jika sebaliknya (tidak setuju) ditampung pada bumbung tanpa nama.

Secara normatif berdasarkan Pasal 54 C UU No.10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Bumbung Kosong disebut dengan istilah Pemilihan Satu Pasangan Calon. Artinya pasangan calon definitif tidak memiliki pesaing. Karenanya surat suara dibuat bergambar calon tunggal disandingkan gambar kosong tanpa figur. Jika surat suara tanpa gambar yang menang maka calon tunggal dinyatakan kalah. Meskipun demikian pasangan yang bersangkutan boleh mencalonkan lagi pada pemililihan berikutnya. Guna mengisi kekosongan pemimpin, kepala daerah setempat ditunjuk langsung oleh pemerintah hingga tiba waktu pemilihan berikutnya.

Bumbung kosong memiliki epistemologi tersendiri. Menarik dan seksi untuk dikaji. Tidak pernah dan tidak akan pernah ada entitas apapun yang kosong eksistensi. Produk sang Maha Otoritas mengisi setiap ruang persemaiannya. Sinonim kosong menurut orang Jawa adalah Suwung. Sebuah kata yang digunakan untuk mendiskripsikan suatu tempat atau ruangan tanpa penghuni. Perpsektifnya kasat mata dan inderawi.

Bumbung Kosong dalam konteks hakikat tidak berarti suwung, hening dan senyap. Bumbung Kosong dalam konteks Pilkada adalah dokumentasi peristiwa. Output dari hiruk pikuk, kompetisi, aksi, persuasif, relasi, negosiasi, pergulatan, tata kelola hingga siasat sebagai metode. Dengan demikian ketiadaan kompetiter yang populis disebut Bumbung Kosong atau Satu Pasangan Calon adalah kristalisasi demokrasi sebagai proses yang mengundang apresiasi, penilaian, respon, keyakinan, dan opini. Realitas semacam ini sungguh menentukan status dari Bakal Calon menjadi Calon dalam alur kompetisi yang dinaungi regulasi.

Orang menyebut, satu pasangan calon atau calon tunggal akan mendistorsi demokrasi. Pilkada miskin edukasi civil society. Sepi geliat aksi guna membangun nilai tambah pribadi. Kabupaten / Kota yang hanya memiliki satu pasangan calon akan diwarnai stagnasi. Benarkah demikian ?

Disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) UU No.10 tahun 2016 bahwa Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik guna mendapatkan legalitas dari penyelenggara. Rekomendasi Parpol untuk pasangan bakal calon melalui kordidor ketentuan normatif dimaksud. Fundamental dan menentukan status hukum bakal calon menjadi calon. Tanpa Rekomendasi maka kehendak berkompetisi tidak lebih sebatas imaginasi.

Disela rekomendasi adakalanya Parpol memberikan penugasan. Tertuang pada Surat Tugas pada seorang bakal calon. Isinya berupa amanah untuk melakukan kordinasi, komunikasi, konsolidasi baik secara horisontal maupun persuasif vertikal. Keberadaan Surat Tugas semacam ini tidak diatur dalam regulasi Pilkada. Pun juga tidak dilarang. Dengan kata lain Surat Tugas tersebut tidak lebih sebagai dokumen administrasi. Wujud kecermatan dan kehati-hatian parpol agar tidak serta-merta memberikan Rekomendasi tanpa prestasi.

Adakalanya parpol menegasikan Surat Tugas karena hal itu bukan kewajiban hukum. Ketiadaan Surat Tugas tidak berarti parpol tidak menilai bakal calon. Masing-masing parpol memiliki pola tersendiri menyangkut interaksi dengan bakal calon dan siapapun dalam ranah Pilkada. Surat Tugas itu tidak penting. Bukan isu strategis yang perlu dipolemikkan. Menyita energi untuk dikaji dengan beragam asumsi. Bahkan sementara orang mengatakan Surat Tugas adalah strategi parpol untuk membuka pintu negosiasi. Seolah, Surat Tugas adalah celah yang sengaja dibuat untuk kepentingan ekstra legal dan negosiasi dipandang sebagai jalan sesat dan menyesatkan. Sungguh keliru.

Negosiasi bagian dari sistem politik. Halal. Bukan hal yang ditabukan. Apalagi diharamkan. Negosiasi merupakan kebutuhan dalam relasi bakal calon dengan partai, partai dengan partai dan calon dengan konstituen. Jika hal ini tidak terjadi, sama halnya perhelatan pilkada menjadi transaksi ‘Beli Garangan Dalam Karung di Keranjang’.

Urgen direnungkan adalah korelasi Bumbung Kosong Pilkada dengan efektifitas kontrol ketika Kepala Daerah terpilih menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Betapa tidak. Ketika rekomendasi semua parpol lekat pada diri pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih, tidak menutup kemungkinan relasi ekskutif dan legislatif senyap pengawasan. Simpul kekuasaan dalam berbagai jenjang hirarkinya jika tanpa kontrol akan melahirkan surplus kuasa, yang pada gilirannya menjadi kontraproduktif. Mereduksi hak konstitusional dan menggantung harapan banyak orang.

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.