Rabu, Juni 4, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Hipotesis Maraknya Seruan Moralitas Kampus

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)

Jelang Pilpres kampus rame-rame menggelar seruan moral. Hingga awal Februari tercatat  47 kampus. Ada apa ? Kampus merupakan rahim nilai-nilai. Kompas peradaban. Soal nilai, kampus adalah produsen. Melahirkan nilai baru sebagai tesa, bahkan antitesa terhadap destruksi nilai-nilai yang mengancam. Secara fungsional, nilai adalah kontrol. Nilai menjadi atmosfir bagi giat dinamika berbangsa dan bernegara. Nilai tidak berada pada ruang hampa, namun terikat bahkan bisa berseberangan dengan pergulatan praktis untuk dan atas nama tertib sosial. Kepentingan mewarnai tertib sosial.  Kuasa merupakan manifestasi kepentingan. Potensi menegasikan nilai. Nilai dan kepentingan acapkali dalam posisi diametral. Bisa juga seiring sejalan.  Dalam perspektif demokrasi, nilai ada dalam ranah negara, kuasa bersemayam pada ranah pemerintah.

Ketika kampus menyerukan pentingnya moralitas dalam penyelenggaraan pilpres, muncul pointers pertanyaan kritis. Apakah seruan kampus yang terjadi kini sebagai inisiasi otentik fungsi perguruan tinggi ? Apakah seruan semacam ini merupakan aksi terapiutis menghadapi potensi kisruh penyelenggaraan pilpres ? Ataukah kampus telah disubordinasi sahwat otoritas  kelompok kuasa ?  Apa urgensi moralitas karena statusnya sebagai seruan ? Apakah dalam kondisi chaos  kampus juga akan mendeklarasikan tema seruan yang linier dengan keadaan ? Apakah seruan moral yang tengah marak menjadi upacara dapat dikatakan wujud pengabdian masyarakat ? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya. Multi perspektif karena intervensi berpikir in group  tidak mudah berkompromi.  Pilpres tidak lebih sebagai akumulasi pergulatan meraih kuasa. Ejakulasi politik membutuhkan siasat dan cara. Terdapat beragam hipotesis soal seruan moral perguruan tinggi menjelang Pilpres yang tinggal beberapa hari lagi.

Pertama, seruan  moralitas kampus sebagai ekspresi kesadaran dan tanggungjawab etis  guna menepis asumsi bahwa perguruan tinggi sebagai menara gading. Pilpres berikut dinamikanya dimaknai sebagai panggilan agar civitas akademik turun gunung. Meskipun sebatas prosesi singkat pada gilirannya diekspos beragam media.  Seolah tugas kampus  telah paripurna. Image yang dibangun, Kampus Pro Pemilu Jurdil. Kampus melawan otoritarianism. Anti politik dinasti, mengecam hukum sebagai alat membelokkan haluan negara.

Kedua, seruan kampus jelang pemilu  menjadi marak. Bergulir seperti bola salju untuk tidak mengatakan telah terjadi aksi membebek dari banyak perguruan tinggi. Khidmad melakukannya namun lepas dari tujuan semestinya. Seoalah jika tidak melakukan seruan, keterlibatan perguruan tingginya tidak pro-demokrasi. Cuek, miskin peduli, egois, buta tuli, nir partisipasi dan melawan upaya membangun budaya sadar berkonstitusi. Terjadilah mobilisasi civitas akademik lengkap dengan narasi dramatis guna mengundang apresiasi.

Ketiga,  seruan moral sebagai aksi menjalankan tantangan keaktoran agar independensi kampus nampak netral. Upacara seruan moral menjadi alat untuk menyembunyikan  fakta terjadinya mobilisasi, persuasif dan tekanan kepada mahasiswa dengan alat otoritas dosen agar memilih capres tertentu. Geliat idealisme mahasiswa untuk mengatakan ‘tidak’ atas praktek curang itu ditutup dengan sandiwara di altar moralitas.

Keempat,  masifnya seruan kampus bisa jadi merupakan indikasi sub-ordinasi kampus oleh entitas yang namanya otoritas. Kampus dimobilisasi sebagai deposit untuk memberikan justifikasi   jurdil terhadap Pilpres yang sesungguhnya sarat dengan penyimpangan. Kampus digunakan sebagai alat mendongkrak indeks demokrasi. Kampus menjadi semacam pemadam. Ketika chaostic terjadi pasca pilpres, maka kampus diharapkan seruannya menjadi stempel penegas bahwa Pilpres on the track. Hipotesis ini cukup efektif di tengah potensi pelanggaran pilpres. Penyelenggara pemilu kehilangan otoritasnya karena formasi mengisi sumberdaya institusionalnya ditentukan oleh kuasa yang tidak kasat mata. Tidak heran jika tupoksi penyelenggara pemilu bukan lagi optimalisasi pelayanan publik melainkan  dikendalikan oleh target pemenangan yang telah menjadi komitmen awal. Tidak banyak orang berpikir perihal mesin politik bekerja melalui penyelenggara pemilu baik dalam skala lokal hingga nasional.

Kelima,  seruan kampus bisa juga muncul sebagai bentuk keprihatinan sekaligus estimasi kemungkinan konflik pasca pemilu. Sensitifitas kampus telah mengendus indikasi akumulatif atas berbagai peristiwa jauh sebelum pilpres. Etika politik tak lagi penting dan berarti. Elit penyelenggara negara sedemikian mudah menggunakan hukum sebagai alat menghalalkan tujuan dan cita-cita. Nepotisme, kolusi dan korupsi tak lagi menimbulkan rasa malu dan bersalah. Semua ini menjadi bom waktu. Bisa meledak atas nama Pemilu curang karena penyimpangan terbuka terang-terangan.

Kampus seharusnya tidak lagi memposisikan diri sebagai menara gading. Kampus adalah bagian dari masyarakat. Di dalamnya sarat dengan berbagai riset, karya akademik, dialektika, budaya falibilism, dan beragam konsep yang diharapkan menjadi ‘the tool of social enginering’. Dengan demikian aksi kampus untuk turun gunung merupakan konsep fungsi perguruan tinggi yang tak lagi menjadi prioritas. Moralitas berurat berakar pada nilai-nilai. Tidak ada yang salah ketika kampus menggelorakan. Problemnya, masyarakat kini tak lagi butuh sebatas deklarasi naratif atas nama moralitas. Publik haus dan mengharap agar keterlibatan perguruan tinggi terintegrasi secara konkrit dengan hot issue. Orang sudah bisa membedakan baik dan buruk. Taat atau menyimpang. Jujur atau curang. Di tengah krisis kepercayaan terhadap penyelenggara negara, khalayak butuh operator yang dapat menjalankan kehendaknya. Menuntaskan masalahnya.

Peserta pemilu butuh tempat curhat karena pengaduan atas pelanggaraan netralitasnya tak lagi digubris. Apalagi ditindaklanjuti. Pihak yang dirugikan butuh pendampingan untuk melapor dan mengawal proses politik uang yang telah menjadi fakta. Masyarakat butuh advokasi agar pemerintah atau pemerintah daerah yang korup kewenangan bisa dikontrol dan ditindak. Masyarakat butuh sentra pengaduan sekaligus pendampingan Pemilu. Perguruan tinggi diharapkan bisa mewujudkan harapan-harapan ini. Imaginasi saya, sejak 14 Februari 2024 nanti media diwarnai berbagai headline, seperti : ‘Politik Uang Dominasi Laporan ke Posko Pemilu Unej’,  ‘Gazebo Pilpres UB Libatkan Mahasiswa Monitoring Penyelenggaraan Pilpres,  ‘Layangkan Somasi, Angkringan Pro-Rakyat UGM Konsisten Melakukan Advokasi’, Terminal Demokrasi Unair Bedah Kasus Dengan Gakumdu’, Teras Advokasi Unmuh Jember Lakukan Press Release Kecurangan Pilpres’  dan sebagainya. Rakyat butuh aksi konkrit kiprah perguruan tinggi. Butuh pecel rawon yang tersaji dan siap santap di meja makan. Bukan lobster goreng yang ada di angan-angan. Di sinilah peran perguruan tinggi sebagai wahana mengabdi untuk demokrasi. Bukan seruan yang tak lebih sebagai ajang selfi.

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Unej, ketua dewan Pakar ICMI dan Dewan Pakar KAHMI Jember.

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.