Penulis: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med
Setiap kelahiran baru selalu melahirkan polemik. Termasuk kelahiran atas terbitnya Perpu No.2/2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja). Di luar dugaan, Presiden sebagai representasi pemerintah yang seharusnya membangun budaya keteladanan, justru sebaliknya. Melakukan penghinaan terhadap lembaga peradilan, yakni Mahkamah Konstitusi. Betapa tidak.
Drama ketatanegaraan terburuk akhir tahun 2022 adalah terbitnya Perpu Cipta Kerja. Perpu ini lahir tidak berarti tanpa sebab. Dibuat dan diundangkan sebagai puncak akumulasi dari proyek eksperimental yang gagal atas Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK/Omnibuslaw). Indikator kegagalan itu konkrit setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No. 91/ PUU-XVIII/2020. Diputuskan MK bahwa UUCK dalam status Cacat Formil. Pemerintah diberi waktu 2 tahun untuk melakukan revisi. Jika tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU, pasal-pasal, atau materi muatan-muatan yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Putusan MK adalah wajib dilaksanakan. Bersifat imperatif. Namun yang terjadi justru arogansi sikap kontradiktif. Secara serta-merta Presiden menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan dalih ‘kegentingan yang memaksa’. Dasar hukum terbitnya Perpu adalah UUD Negara RI Tahun 1945 – Pasal 22 ayat (1). Isu hukumnya, apa indikasi kegentingan memaksa yang dijadikan landasan Presiden menerbitkan Perpu Cipta Kerja ? Kegentingan adalah keadaan kritis dan gawat. Nyata dan krusial. Tidak bisa diduga sebelumnya dan sulit ditanggulangi. Abnormal dan rumit serta membutuhkan berbagai upaya ekstraordinary untuk mengatasi. Pranata hukum tidak mampu menjadi solusi. Pada gilirannya melahirkan ancaman membahayakan. Butuh gerak cepat mengambil keputusan guna memulihkan keadaan.
Perpu Cipta Kerja sama sekali tidak mengindikasikan fakta fakta hukum tersebut. Kegentingan memaksa pada Konsideran huruf (h) tidak merefleksikan prinsip dasar tentang keadaan memaksa. Dengan demikian Perpu Cipta Kerja terbit tanpa landasan konstitusional dan realitas sosial. Disharmoni terhadap konstitusi. Cermati pula pada Konsideran huruf (f) pada Perpu Cipta Kerja. Disebutkan bahwa diterbitkannya Perpu sebagai wujud melaksanakan Putusan MK No. 91/ PUU-XVIII/2020 sehingga perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah rupanya ceroboh. Tidak menggukan asas kecermatan dan kehati-hatian memahami ‘Inkonstitusional Bersyarat’ dalam diktum putusan MK.
Makna Inkonstitusional Bersyarat adalah UUCK masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan dalam waktu dua tahun. Perubahan dalam konotasi perbaikan. Perbaikan tentu memiliki makna beda dengan penggantian dalam bentuk menerbitkan peraturan perundang-undangan baru. Tidak ada satupun klausul Diktum Putusan MK yang memerintahkan untuk mengganti, namun menyusun kembali UUCK tersebut sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011 (UU tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan).
Tidak heran jika frase kegentingan memaksa yang melandasi Perpu ini terkesan dipaksakan. Bahkan menjadi parodi, kegentingan memaksa adalah keadaan buntu. Miskin solusi sebagai akibat bereksperimen membidani UUCK di luar prosedur dan kaidah yang seharusnya dilakukan. Jadi kegentingan memaksa dalam hal ini berupa fakta darurat. Situasi yang menjebak pemerintah dan mengurungnya karena kehabisan energi untuk menyusun kembali UUCK, bukan realitas publik sebagai masyarakat hukum yang merindukan perbaikan UUCK.
Perpu Cipta Kerja tidak menggugurkan Putusan MK No. 91/ PUU-XVIII/2020. Perpu Cipta Kerja merupakan wujud pelecehan terhadap lembaga peradilan. Sikap ‘mbalelo’ untuk tidak melaksanakan perintah MK adalah bukti penghinaan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi RI. Presiden mengabaikan Konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1). Inkonstitusional terhadap konsensus nasional yang fundamental. Presiden telah melakukan Contempt of the Constitutional Court. Salah satu indikator penghinaan terhadap lembaga peradilan adalah tidak mentaati perintah pengadilan (disobeying court orders).
UUD Negara RI Tahun 1945 telah memberikan otoritas guna menguji konstitusionalitas UU terhadap Konstitusi. Pada saat MK memutuskan suatu UU bertentangan dengan konstitusi maka secara normatif merupakan harga mati untuk mematuhi dan melaksanakan putusan MK itu. Bukan berbuat dengan ‘mengugurkannya’ melalui penerbitan Perpu. Jika presiden menganggap, Perpu adalah solusi agar lepas dari jeruji perintah MK, sungguh aksi semacam ini tidak memilik alasan rasional yang bisa dipertanggungjawabkan. Liar dan arogan bahkan tidak mencerminkan sebagai sikap negarawan yang menjunjung prinsip negara hukum dalam bingkai cita hukum Pancasila.
MK memutuskan dan menyatakan UUCK sebagai konstitusional bersyarat bukan berarti tanpa alasan. Putusan MK itu logis dan substantif. Hukum di Indonesia belum memiliki sistem dan standar baku pembuatan UUCK yang berkarakter Omnibus Law. Sisi lain, secara historis pembentukan UUCK tersebut tidak membuka ruang partisipasi publik. Presiden tidak menyadari kalaupun kelak Perpu dimaksud disetujui oleh DPR dan menjadi UU, toh UU hasil metamorfosa itupun nantinya juga lepas dari partisipasi publik sebagai komponen prasyarat normatif dan prinsip. Sehingga tetap terbuka untuk dilakukan Yudicial Review seperti lingkaran setan. Tak berujung dan menjadi rahim beragam problema ketidakadilan.
Presiden sendiri, termasuk Prof.Mahfud MD menanggapi beragam komentar dengan respon enteng. Menjawab konfirmasi media dengan komentar seolah tak ada masalah :’…pro kontra sudah biasa. Jika saya sebagai akademisi, saya pun akan melakukan kritik…’ Lantas, apakah Prof.Mahfud dengan kapasitas sebagai pejabat menegasikan nilai-nilai akademis dalam menjalankan tupoksinya ? Akademisi adalah refleksi nilai-nilai. Berorientasi pada kebenaran yang diagungkan. Sakral. Jika konsep nilai digunakan untuk membingkai prilaku pejabat, seolah ada sekat antara pejabat yang seharusnya membangun keteladanan dalam setiap pengambilan keputusan justru terjerembab dengan prilaku prakmatis.
Berseberangan dengan nilai-nilai. Tidak akomodatif terhadap aspirasi dan abai terhadap khalayak sebagai stakeholder. Rakyat tengah merindukan kehadiran negara melalui peraturan perundang-undangan yang memberikan kesejukan. Rakyat mengharap integritas pemerintah dan presiden yang memiliki komitmen dan konsistensi konstitusional. Bukan sebaliknya.
*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Fakultas hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember