Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Pers: Pilar Peradilan Baru yang Menyesatkan

Oleh: Dr. Fina Rosalina, S.H.,M.H.*)

9 Februari 1946 adalah momentum lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Diabadikan sebagai Hari Pers Nasional. Pers identik dengan jurnalis. Dinamika pers memiliki beragam warna dari masa ke masa. Masa kelam dalam hegemoni oligarki telah berlalu. Era reformasi kini pers berpayung pada konstitusi. Dengan harapan memberikan landasan dan perlindungan hukum yang cukup kokoh.

Era digitalisasi pers berada di puncak hirarki. Naik daun. Disanjung dan menjadi tumpuan harapan siapapun, terutama dalam rangka membuka katup keadilan. Keadilan di negeri ini masih sebatas utopia. Keadilan menjadi barang mewah. Tak mudah dirasakan sebagai gizi dan penyejuk nurani. Keadilan di negeri ini seolah imaginasi. Ketika keadilan menjadi objek permainan para pihak, maka pers menjadi salah satu  alat merebut keadilan itu. No Viral, No Justice adalah term populis. Alat baru yang secara fungsional menjadi penggerak aturan memberikan pelayanan.

No viral no justice diartikan sebagai fenomena di mana keadilan hanya didapatkan setelah suatu kasus menjadi viral di media. Fenomena itu lahir melalui penyebaran informasi tentang kasus-kasus yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Tanpa viralitas, beberapa kasus mungkin saja diabaikan atau diproses secara lambat.  Banyak korban tidak memiliki akses keadilan atau bahkan takut untuk berbicara. Pers menjadi salah satu tempat bagi siapapun yang merindukan keadilan. Menggali dukungan dan memamerkan kecurangan. Positif memang, namun fenomena ini akan menjadi berbahanya bilamana tidak terdapat mekanisme pengawasan yang komprehensif. Mengapa demikian? Sebab Viralitas memaksa aparatur hukum bergerak dengan cepat, dan bisa saja beberapa prosedur beracara dilanggar. No viral no justice menjadi embrio aparatur hukum untuk bersikap tidak imparsial. No viral no justice, potensial menjadi  trial by the press (peradilan sepihak melalui pemberitaan media yang menimbulkan opini negatif atau bersalah pada subjek yang diberitakan). Sejatinya, bagaimana trial by the press ini bekerja? Mengapa keadaan ini perlu diwaspadai dan dihindari?

Trial by the press diklasifikasikan sebagai contemp of court dengan bentuk sub-judice rule yaitu usaha untuk mempengaruhi hasil suatu sidang peradilan. Trial by the press atau penghakiman yang dilakukan oleh pers, merupakan mekanisme untuk membentuk opini publik. Menciptakan pandangan subjektif. Bersifat tendensius. Menempatkan status salah pada diri orang atau subjek berita berdasarkan fakta yang telah dikumpulkan oleh pers. Pembentukan opini publik dilakukan melalui mekanisme manipulatif. Penggunaan bahasa yang persuasif. Dinarasikan secara emosional provokatif. Dikomunikasikan secara kontradiktif dengan framing subjektif. Kasus hukum diolah sedemikian rupa menjadi hiburan publik yang menarik. Saat masyarakat terpancing dan opini liar mulai tidak terkendali, saat itulah terjadi yang disebut trial by the public terjadi. Apa dampak dari trial by the public?

Pertama, aparat penegak hukum bekerja berdasarkan opini publik. Aparat penegak hukum dalam bekerja akan dinaungi ketakutan dihujat netizen. Ya, terutama di Indonesia, kita tau kekuatan netizen dalam menghujat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tren lembaga survey indikator kinerja aparatur hukum. Diketahui bahwa, Tahun 2023 survey indikator kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan 77,8%, KPK 71,5% dan kepolisian 70,8%. Angka prosentase tersebut merupakan penilaian masyarakat. Hanya saja gerak kinerja aparatur yang ada tidak dilatarbelakangi kepentingan hukum dan keadilan, namun cenderung karena rasa takut atas kontrol netizen. Jika kenyataan demikian terus mengakumulasi maka tidak menutup kemungkinan ukuran keadilan yang digunakan bukan hukum dan nurani, tetapi beralih menjadi selera netizen. Bukan lagi KUHP atau KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya tetapi bergeser mendasarkan pada Kitab Selera Asal Netizen Senang (KSANS)

Kedua, jika kasusnya dalam ranah pidana, maka trial by the press masuk kategori pelanggaran asas dalam hukum pidana. Asas tersebut adalah presumption of innocence  atau praduga tidak bersalah. Seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) melalui putusan pengadilan. Dampak atas pelanggaran asas presumption of innocence dalam sistem hukum pidana adalah pelanggaran terhadap peradilan yang adil (fair trial). Bahkan tahapan ini meningkat dalam kategori Kesalahan Penghukuman (Miscarriage of Justice). Kasus menarik terkait dengan hal ini adalah seorang Amanda Knox. Dia seorang  mahasiswa Amerika. Dituduh membunuh teman sekamarnya di Italia. Pada saat itu pers menyoroti kehidupannya secara sensasional. Bahkan mengopinikan sebagai “Femme Fatale” dan “Wanita Gila Seks”. Karena ulah  trial by the press  Amanda Knox dijatuhi pidana pada tahun 2014 selama 28,5 tahun penjara. Namun tahun 2015 Mahkamah Kasasi Italia Amanda Knox dibebaskan  setelah dinyatakan tidak bersalah karena kurangnya bukti yang meyakinkan. Betapa dasyatnya opini liar yang dilahirkan oleh pers terhadap pelanggaran HAM seseorang.

Ketiga, pers sebagai instrument politisasi kasus hukum. Trial by the press dapat juga menjadi instrument penguasa menjatuhkan lawan politiknya. Contoh fenomena ini adalah pada kasus Lula da Silva, mantan Presiden Brasil. Dihukum 12 tahun penjara pada 2018 atas tuduhan korupsi dalam skandal Operation Car Wash. Namun, banyak pihak menilai kasus ini sarat kepentingan politik karena vonis dijatuhkan menjelang Pemilu 2018. Semenara Lula memiliki elektabilitas tinggi waktu itu. Pada 2021, Mahkamah Agung Brasil membatalkan vonisnya, menyatakan bahwa proses hukum terhadapnya tidak adil.

Trial by the press tidak hanya melanggar HAM dan kedudukan hukum seseorang namun juga dapat memicu hukuman sosial terhadap keluarga pelaku. Penolakan masyarakat (cancel culture) atau bahkan bullying  dan doxing terhadap diri dan keluarga tersangka merupakan fakta yang tak bisa dihindari.

Problema di atas hingga kini belum tersentuh kebijakan. Jangan sampai Pers di negeri yang menjunjung supremasi hukum ini menjadi liar. Pers harus dalam skema keseimbangan.  Kedudukan pers, masyarakat dan aparatur hukum harus egaliter. Pers perlu menghindari framing sensasional dan verifikasi fakta ketat. Dewan Pers berperan dengan memperkuat pedoman pemberitaan kasus hukum untuk mengaruhi opini publik. Masyarakat perlu meningkatkan Edukasi Literasi Media. Literasi media dapat mengurangi efek trial by the public. Aparat hukum diharapkan tetap Independen. Penegak hukum wajib mengutamakan prosedur legal, bukan tekanan publik. Transparansi proses hukum harus dikedepankan.

Fenomena no viral no justice adalah anak panah trial by the press. Kebebasan pers merupakan wahana demokrasi. Harus diberikan ruang konstitusi. Namun jangan lupa, kebebasan itu bukan sebebas-bebasnya agar anak panah di atas tidak menimbulkan retaknya harapan nurani keadilan.

Selamat berbakti Pers Nasional untuk membangun kesadaran berkonstitusi.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember Unmuh, Ketua Pos Bantuan Aisyiyah Jember dan Aktifis Divisi. Advokasi Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia- Jember

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.