Jumat, Juni 6, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Setetes Darah, Menunggu Sensitifitas Bupati

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)

Hampir se-abad Palang Merah Indonesia (PMI) mengabdi.  Cukup banyak dinamika mewarnai. Kontribusi konkrit yang selama ini diberikan sungguh sangat berarti. Namun demikian 78 tahun di usianya, keberadaan PMI butuh dievaluasi.

PMI adalah alat negara. Wahana mewujudkan kebutuhan akan hak konstitusional masyarakat untuk hidup sehat dan layanan kemanusiaan yang maslahat. PMI tidak hanya perlu dirawat, tetapi juga ditumbuhkembangkan guna mempertahankan visi yang bermartabat. Lebih dari itu juga penting mendapatkan perhatian pemerintah, termasuk pemerintah daerah.

PMI itu seperti etalase. Tak ubahnya toko. Menggelar dan menjual kantong darah. Masyarakat datang dan berkepentingan untuk mendapatkan. Berharap dapat menyelamatkan nyawa di tengah kegentingan. Membeli tanpa menawar. Memburu dengan rasa pilu, meskipun harus berpacu dengan waktu. Demikian stereotype PMI di mata publik. Kata ‘menjual’ dalam konteks kepalangmerahan memberikan makna kontradiktif dengan esensi kemanusiaan.

Kepalangmerahan merupakan manifestasi humanis.  Di dalamnya menyimpan cinta kasih. Simbol harkat martabat manusia. Nir nominal. Berurat berakar pada komitmen saling menolong.  Karena itu jargon ‘setetes darah adalah nyawa bagi sesama’ selalu dikumandangkan PMI. Meskipun hanya setetes, faktanya darah memiliki nilai rupiah. Tidak gratis. Membeli sekalipun, juga spekulatif karena jenis darah yang dibutuhkan tidak selalu tersedia. Korelasi stock dan golongan darah pengguna sungguh menentukan.

Darah secara fungsional memiliki urgensi yang tinggi. Tidak saja menyangkut nyawa si sakit. Soal darah ternyata juga erat berkait dengan kemampuan finansial pengguna. Saat mendonor dilakukan secara gratis, namun ketika butuh harus masuk ranah ‘bisnis’. Membayar dengan harga tertentu. Konotasi harga dalam hal ini tidak dalam kontek pasar yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran.

Harga dimaksud merupakan representasi hasil hitung komponen biaya penyelenggaraan pelayanan transfusi darah dan komponen biaya operasional.  Legalitasnya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terbaru adalah SE Dirjend Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, tertanggal 14 July 2023.

Di Kabupaten Jember, hingga opini ini hadir di hadapan pembaca, nominal satu kantong darah sebesar Rp.360.000,- (tiga ratus enam puluh ribu rupiah). Berdasarkan SE Dirjend Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/D/8099/2023 tentang Penetapan Biaya Pengganti Pengelolaan Darah (BPPD), yang ditindaklanjuti dengan Kepgub Jatim No. 188/452/KPTS/013/2023 tentang Biaya Pengganti Pengelolaan Darah (BPPD) Pada Unit Transfusi Daerah Di Propinsi Jawa Timur, nominal BPPD riil potensi berubah.

Regulasi kemeterian telah menetapkan ambang batas sebesar Rp.490.000,- (Empat ratus sembilan puluh rupiah). Ini berarti besaran Rp.360.000,- di Kabupaten Jember potensial mengalami kenaikan atau tetap seperti biaya yang selama ditentukan. Bahkan secara normatif dimungkinkan gratis.

Betapa tidak. SE Dirjend Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/D/8099/2023 secara substantif hanya menentukan standart ambang batas. Tidak bersifat perintah menaikkan biaya, tetapi memberikan ruang pilihan melalui kata ‘dapat’ yang bersifat opsional. Dengan kata lain, SE dimaksud bersifat informatif sebagai upaya adaptasi terhadap variabel biaya dengan memberikan perkenan apabila terpaksa daerah harus menyesuaikan. Dengan catatan tidak lebih dari Rp.490.000,-. Pun juga halal manakala atas pertimbangan rasa keadilan, daerah tidak menaikkan nominal biaya.

Regulasi di atas tidak berarti steril dari persoalan. Manakala daerah menaikkan BPPD, bisa dibayangkan, ketika degup jantung si sakit dan keluarganya membutuhkan transfusi sebagai solusi. Biaya sekantong darah naik tinggi sehingga kebutuhan signifikan yang menentukan kesembuhan tidak terbeli. Di sinilah pentingnya sensitifitas pemerintah kabupaten melakukan  intervensi.

Berdasarkan payung regulasi kementerian yang baru, Bupati Jember diharapkan berani berbuat dan mengambil keputusan melalui suntikan APBD guna meringankan beban masyarakatnya di bidang kemanusiaan.

Jelas dan tegas, disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 2028 tentang Kepalangmerahan – Pasal 30 ayat (2), bahwa pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dana melalui APBD terhadap PMI. Ketentuan dimaksud menemukan momentum untuk direalisasikan dalam bentuk subsidi terhadap BPPD. Dengan demikian biaya sekantong darah dapat mengurangi beban derita si sakit dan keluarganya. Apalagi pada Pasal 33 dalam UU yang sama ditegaskan bahwa keberadaan pemerintah daerah menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan kepalangmerahan. Merupakan aksi yang logis jika pembinaan dimaksud dilakukan dalam bentuk konrit dengan memberikan dukungan APBD terhadap PMI Jember.

Soal kemanusiaan dalam ikon setets darah, Jember relatif tertinggal. Probolinggo sebagai Pemkot tetangga, dukungan ekskutif dan legislatif daerahnya terhadap PMI patut dicontoh. Secara rutin PMI Kota Probolinggo mendapatkan kucuran dana APBD. Di Kabupaten Kutai Kartanegara kebutuhan darah bagi si sakit digratiskan. Ada subsidi APBD sebagai wujud kesadaran akan tugas mulia PMI. Rasa tanggungjawab daerah benar-benar dibuktikan menjadi fakta yang meringankan masyarakatnya. Bahkan Tahun 2023 pihak eksekutif Kalsel memberikan persetujuan dukungan dananya lewat APBD setempat ke PMI tiga kali lebih besar dari tahun sebelumnya.

Lantas kapan Bupati Jember Jember membuktikan kepekaan konkritnya terhadap soal kemanusiaan ? Kemanusian memiliki nilai utama di atas beragam kepentingan apapun. ‘Wis Wayahe’ adalah komitmen yang melengkapi asas umum pemerintahan yang baik di Kabupaten Jember. ‘Wis Wayahe’ merupakan norma moralitas di atas aturan meskipun kini tak lagi nyaring terdengar. Moralitas adalah refleksi nurani bupati. Meskipun demikian, PMI Jember tidak patut untuk diam. Menagih merupakan Bagian utama dari aksi kebijakan PMI Jember. PMI bukan sub-ordinasi terhadap Bupati. Keberanian, netralitas dan kemandirian PMI adalah marwah. Harus dirawat agar tetap menjadi aura palang merah. Jika tidak, maka keberadaan PMI menjadi sama dengan ketidakberadaannya.

PMI bukan lembaga pekerja kegiatan. PMI  merupakan wahana yang dituntut melakukan formulasi kebijakan yang diharapkan menghasilkan produk cerdas kemanusiaan. Di sinilah urgensi 78 Tahun PMI. Kerja cerdas, bukan kerja keras. Menabur produktif dengan pikiran positif. Setia dalam keyakinan orientasi demi layanan insani. Tidak merasa besar dan lupa diri. Senantiasa membudayakan evaluasi dan tidak terlalu banyak selfi.

*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.