Diksi.co.id Banyuwangi – Anggota Komisi IV DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Sonny T Danaparamita mengkritik kebijakan pengelola Taman Nasional (TN) Alas Purwo terkait naiknya retribusi kepada umat Hindu yang beribadah di Pura Luhur Giri Saloka.
Bahkan, naiknya tiket retribusi itu, viral di berbagai platform media sosial. Masyarakat meminta kepada pengelola TN Alas Purwo untuk mengkaji ulang kenaikan retribusi tersebut.
Sonny T Danaparamita mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan oleh pengelola TN Alas Purwo menunjukkan tidak dipertimbangkan dengan matang. Bahkan, menunjukkan ‘kegagalan memahami substansi permasalahan’, dan berpotensi melanggar prinsip kebebasan beragama.
Namun, kata Sonny, dirinya sangat mengapresiasi respon cepat yang dilakukan oleh pengelola TN Alas Purwo terhadap keresahan masyarakat tersebut.
“Saat ini, pihak pengelola TN Alas Purwo menerapkan tarif Rp 0,- untuk umat Hindu di tiga kecamatan,” kata Sonny T Danaparamita yang juga wakil sekretaris Pimpinan fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Selasa (19/11/2024).
Menurut Sonny, kebijakan yang dikeluarkan oleh pengelola TN Alas Purwo memberikan tarif Rp 0,- untuk umat Hindu yang bermukim di tiga kecamatan itu sangat diskriminatif.
“Sangat tidak adil dong, kalau menggratiskan retribusi di tiga kecamatan saja. Bagaimana dengan umat Hindu yang ada di daerah lain?, apa tetap dikenakan tarif?, Ini sangat tidak adil, dan melanggar asas kesetaraan,” kritik Sonny.
Sonny T Danaparamita mengungkapkan di Pasal 18 ayat (3) Internasional Covenant on Cicil and Pilitical Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia, UU
No. 12 Tahun 2005. Pasal tersebut menegaskan bahwa kebebasan beragama hanya boleh dibatasi demi keselamatan atau kepentingan masyarakat luas.
“Kebijakan retribusi ini tidak relevan dengan alasan tersebut, sehingga masuk kategori diskriminasi terhadap kebebasan beragama,” tegasnya.
Tidak hanya mengkritisi kenaikan retribusi saja. Sonny T Danaparamita juga mengkritik kebijakan “Fleksibilitas di lapangan” yang memungkinkan petugas mengurangi tarif bagi umat yang merasa keberatan. Menurutnya, kebijakan tersebut membuka celah penyalahgunaan wewenang dan tidak berkepastian hukum yang jelas.
“Ini adalah kebijakan abu-abu yang berpotensi merugikan masyarakat sekaligus mencoreng kredibilitas negara,” bebernya.
Sonny menyarankan agar revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dilakukan lebih komprehensif. Selain mempertimbangkan kebebasan beragama, kebijakan tarif juga perlu memperhatikan pelajar dan peneliti yang kerap menggunakan kawasan taman nasional untuk kegiatan ilmiah.
Sebagai wakil rakyat, Sonny menegaskan bahwa keberatan ini tidak hanya datang dari umat Hindu, tetapi juga dari pelajar dan pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh kebijakan tarif Taman Nasional. Harapannya agar Kementrian bisa merevisi atau mengkaji ulang kebijakan tarif tersebut.
Ia mencontohkan, kawasan seperti TN Baluran juga sering digunakan oleh akademisi untuk studi lapangan. Dengan biaya retribusi yang tinggi, akses terhadap penelitian menjadi terbatas dan dapat menghambat pengembangan ilmu pengetahuan. “Taman Nasional harus menjadi ruang publik yang inklusif, bukan tempat yang justru menghambat kebebasan warga untuk beribadah atau melakukan penelitian,” tegas Sonny.
Sonny memperingatkan pengelola TN Alas Purwo tidak berdalih dibalik regulasi serta menjalankan kebijakan melanggar konstitusi.
“Taman Nasional tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian dan rekreasi, tetapi juga pusat penelitian dan pendidikan. Jangan sampai kebijakan retribusi ini justru menghalangi fungsi tersebut,” tandasnya.
Menurut Sonny, dirinya sebagai wakil rakyat, harus bersikap tegas dalam mendukung kebebasan beragama.
“Pengelola TN Alas Purwo harus adil, serta berpihak kepada kepentingan masyarakat luas,” pungkasnya. (Lin/Tut)