Selasa, Juni 3, 2025
spot_img

DIKSI UPDATE

Supremasi Pers dalam Ancaman

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *

Pers kini berada dalam posisi dilematis. Dikangkangi dua kaki yang saling berseberangan. Antara idealisme dan prakmatisme. Idealisme dalam konotasi konsistensi profesi. Menjunjung objektifitas. Merawat daya kritis. Idealisme pers mengedepankan preskripsi etis serta berfungsi sebagai pilar demokrasi berbasis konstitusi. Dibutuhkan untuk mengawal perubahan dan kanal kebuntuan akses bagi kepentingan publik. Sedangkan pragmatisme lebih berorientasi pada kepentingan sesaat. Motivasi materi. Terintegrasi dalam kelompok kepentingan. Kolaborasi dengan oligarki. Tidak bebas berkreasi karena dibatasi komitmen secara kontraktual dengan para pihak.

Viralisasi tengah menjadi istilah populis dalam dunia medsos. Viralisasi seolah menjadi energi strategis bagi media guna menegaskan fungsinya sebagai penekan dalam menentukan pengambilan keputusan. No Viral, No Justice kini menjadi kredo yang diyakini publik. Viralisasi acapkali sengaja dibuat sebagai daya dobrak agar pihak lain bergerak. Setiap  peristiwa bisa menjadi fakta. Entitas fakta sangat terbuka menjadi fakta hukum. Sementara fakta hukum adalah reasoning menggerakkan hukum. Mengundang tekanan bagi aparatur pelaksana dan penegak hukum sebagai wujud pertanggungjawaban publik agar terhindar dari rasa malu dan rasa bersalah. Jika tidak, medsos akan berfungsi menjadi alam peradilan yang bekerja menurut seleranya. Ketok palunya berupa stigma dan hilangnya rasa percaya masyarakat. Baik dalam lingkup personal maupun institusional.

Informasi negatif adalah berita positif bagi market pers. Semua berita dan informasi apapun bagi pers cenderung berdimensi negatif. Itulah ‘ideologi pers’. Komoditas informasi bernilai income jika pers mengeksplore berita negatif. Kriminalitas, inkonsistensi APH, korupsi, asusila, KDRT, money politik, sengketa, unjuk rasa, bencana, skandal pejabat dan sebagainya, merupakan beragam berita yang lalulang di teras media. Hadir kapanpun dalam beragam platform.  Viral menjadi tujuan utama.

Viral kini tak lagi monopoli pers. Berkat internet siapapun secara tidak langsung bisa berkarakter sebagai jurnalis. Paling tidak bagi diri dan lingkungannya. Bukan hal aneh ketika seseorang yang bukan jurnalis mampu memberikan reportase peristiwa secara live di lingkungannya. Dengan kemampuan public speakingnya, tak kalah dengan kompetensi jurnalis sesungguhnya.

Deliver informasi  terus tumbuh dan berkembang. Infografis, animasi, video dan sejenisnya adalah beberapa contoh. Namun dark side dari perkembangan ini adalah maraknya hoaks. Hanya saja publik miskin selektifitas. Baginya, tak penting status informasi itu hoak atau bukan. Berita negatif tidak saja dimaknai dalam perspektif informatif, tetapi juga hiburan gratis yang menggelitik.

Tanpa disadari, informasi sebagai pesan bisa jadi menjadi peluru tajam yang dapat mematikan sasaran. Pesan mematikan dapat saja ditembakkan dari siapapun warganet. Dikatakan mematikan sasaran karena substansi pesan merusak konsensus nilai. Mengumbar pesimis, fatalistik, rasis maupun pesan negatif lainnya sehingga membidani lahirnya destruksi sosial.

Media sosial menjadi panggung ekspresi. Siapapun dapat dengan mudah mengunggah sesuatu tanpa dasar pertimbangan. Tak jelas tujuan. Notifikasi dibaca orang adalah indikator kepuasan pengunggah. Apapun peristiwa yang dilihat seketika langsung divisualisasi, diforward dalam bentuk tulisan, foto atau video. Tak peduli dampak yang ditimbulkan. Tidak semua objek yang diunggah berdampak positif. Bahkan potensial menimbulkan kegaduhan dan persoalan baru. Tak heran jika Polri dibanjiri laporan pencemaran nama baik. Pendek kata saat ini publik tengah dibanjiri informasi. Di satu sisi orang-orang seolah bebas memproduksi informasi. Di sisi lain keberadaan etika bermedsos dianggap sama dengan ketidakberadaannya.

Tidak ada pekerjaan yang lebih menantang dan seru selain jurnalis. Meliput berbagai peristiwa penting dan mewartakan kepada masyarakat luas.  Dari kaidah tidak tahu, masyarakat menjadi tahu. Karena ketrampilannya selalu saja ada liputan menarik. Jurnalis memiliki kemampuan kritis menganalisis. Cerdas menentukan momentum berita diluncur dan akurat membaca selera pangsa pembaca. Profesi jurnalis secara tidak langsung menjadi saksi peristiwa.

Saat ini peradaban merubah realitas. Masyarakat pada umumnya tidak menganggap penting perusahaan penerbitan. Jurnalis tak lagi dianggap sebagai profesi heroik yang spesifik. Disamping karena dampak perkembangan iptek, dunia jurnalistik  kini mengalami gradasi fungsi dan potret diri. Tak sepenuhnya turut andil menentukan perubahan. Oknumisasi jurnalis diwarnai inkonsistensi. Menegasikan sifat netralitas. Substansi berita tidak serta merta akurat. Sarat ketidakjujuran hingga aksi yang cenderung melawan hukum. Jurnalis tak lagi menjadi sahabat banyak orang. Jurnalis justru cenderung menjadi alat dalam relasi politik  kepentingan. Meskipun tidak semua, namun hal ini merupakan fenomena yang membuat orang mengelus dada.

Peran pers kini menjadi kabur. Fungsi pers tak lagi absolut sebagai produsen informasi terpercaya. Publik butuh akselerasi informasi. Tak perlu sensor ketat redaksi. Hot issue informasi dan opini publik menjadi laris manis dikonsumsi. Fenomena baru dunia medsos ini tentu saja membawa perubahan dan perilaku baru khalayak dalam mengakses informasi. Kecepatan  lalulintas informasi medsos dibanding pers mainstream justru menjadi daya tarik tersendiri. Dampaknya adalah terciptanya pengaburan antara medsos dengan pers (media massa) di sebagian masyarakat. Informasi yang disampaikan dan diterima warganet melalui medsos cenderung dianggap sama bobotnya dengan informasi pers.

Individu dalam kapasitasnya sebagai ‘jurnalis independen’ cenderung diterima masyarakat. Nir kepentingan dan tidak tendensius. Lebih fokus karena upload berita yang dilakukan tidak ada pertimbangan finansial. Natural dan mengalir begitu saja. Hal ini berkaitan dengan hasil riset International Federation of Journalists dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (kompas.id, 6 Feb 2019).  Dinyatakan melalui lembaga tersebut bahwa ancaman paling serius bagi jurnalis justru berasal dari perusahaan pers sendiri. Pemberian upah rendah dan penggajian tidak teratur dari perusahaan, membuat jurnalis sulit bekerja profesional serta rawan menerima sogokan. Kesejahteraan menjadi ’paradikma baru’ dunia pers. Potensial menggerogoti dirinya sendiri disamping rungkad karena hegemoni medsos. Bila supremasi pers direbut oleh platform karakter medsos lantas jurnalis menjadi apa ? Selamat Hari Pers Nasional.

*)  Kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI  Jember, Mediator Berlisensi MA dan Nominator Dosen Favorit Nasional 2024 Versi Hukumonline

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.