Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med*)
Upah buruh merupakan hot issue akhir tahun. Apalagi dalam tahun politik menuju perhelatan demokrasi 2024. Mengundang polemik tidak saja pada ranah hukum, tetapi juga politik. Kehadiran negara dipertanyakan, karena berapapun prosentase kenaikan upah, tidak linier dengan kehendak buruh.
Upah minimum, yang populis disebut Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) adalah kebijakan normatif hingga kini. Dilahirkan dengan dalih melindungi buruh dan pengusaha. Buruh terhindar dari upah murah sekaligus menjaga daya saing pengusaha. Buruh sejahtera, investasi menemukan arah. Benarkah demikian ?
Besaran upah minimum tiap propinsi tahun 2024 harus sudah ditetapkan Gubernur seluruh Indonesia pada 21 November 2024. Termasuk Jawa Timur. Melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur No.188/606/KPTS.013/2023, ditetapkan UMP sebesar Rp. 2.165.244,30 (dua juta seratus enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat rupiah tiga puluh sen). UMP menjadi kontrol bagi UMK.
Batas akhir UMK harus ditetapkan pada 30 Nevember 2024. Nominal, tidak boleh di bawah UMP. Keputusan Gubernur atas UMP dan UMK berlaku pada 1 Januari 2024. Problemnya, ada pada ranah Kabupaten/Kota yang kini tengah berproses. Termasuk Jember. PP 51 Tahun 2023 sebagai perubahan terhadap PP No.36 tahun 2021 tentang Pengupahan memberikan jaminan kenaikan nominal. Namun demikian buruh tetap skeptis.
Isu hukumnya, apakah kenaikan UMK secara serta merta ditopang ketaatan pengusaha untuk mewujudkannya ? Pertanyaan tersebut sekaligus hipotesa yang melahirkan delusi. Delusi merupakan konstruksi berpikir salah. Pembelokan logika karena kepentingan dibalik otoritas. Eksploitatif. Buruh kehilangan rasa percaya. Sinis dan miskin antusias memperjuangkan dirinya. Kebijakan upah minimum tak lebih sebagai siasat yang sembunyi dibalik realitas. Upah diberikan ruang kenaikan, namun ketidaktaatan pengusaha dibiarkan melenggang. Kejahatan pengupahan tak lagi menjadi isu sentral guna membangun kesejahteraan buruh.
Jelas, lugas dan tegas secara normatif pengusaha dilarang membayar upah di bawah UMK. Ketentuan demikian terdapat pada UU No.6 tahun 2023 menyangkut upah dalam UUCK – Pasal 88 E ayat (2) sebagai kejahatan pengupahan. Sanksinya jelas sebagaimana diatur pada Pasal 185 ayat (1). Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp.400 juta.
Semua aturan di atas bersifat imperatif. Suka atau tidak, salah atau benar kaidah sebuah aturan wajib hukumnya diterapkan. Tidak ada toleransi jika memang aturan diterapkan secara tegak lurus. Dulu sebelum ditetapkannya UU No.6 tahun 2023, jika pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai UMK, undang-undang memberikan jalan keluar dengan memperkenankan pengusaha untuk mengajukan penundaan pembayaran sesuai UMK. Upaya hukum semacam ini telah menjadi sejarah. UU No.6 tahun 2023 telah menghapus upaya yang memberikan keringanan bagi pengusaha.
Dalam perspektif pengaturan demikian pada tahun 2024 nanti jika pengusaha tidak mampu membayar upah buruhnya sesuai UMK, maka potensi masuk penjara. Karenanya merupakan hal yang logis dan mendesak jika saat ini pemerintah menambah fasilitas ruangan Lembaga Pemasyarakatan guna menampung pengusaha bermasalah. Pengusaha dalam kondisi dilematis. Antara ketidakmampuan membayar UMK dengan bayang-bayang gulung tikar jika dipaksakan taat pada aturan.
Anehnya tidak banyak buruh yang melaporkan jika pengusaha melawan aturan. Kalaupun ada laporan, tidak mudah bagi aparat penegak hukum menindaklanjuti. Sarat dengan fakta-fakta ekstra legal menghalangi. Sementara pemerintah tahu akan hal ini hanya bertopang daku sembari ngopi dengan pengusaha. Lantas untuk apa drama upah minimum dipertontonkan jika hanya menjadi suguhan yang immoral. Di sinilah pentingnya upaya membangun komitmen bersama guna mencari celah hukum yang tidak menabrak aturan sebagai wujud inovasi membumikan norma dengan menjunjung harmoni yang tidak sebatas janji imaginasi. Jangan sampai buruh meradang mencari solusi dengan jalannya sendiri.
Akhiri delusi upah buruh agar tidak menjadi drama seri yang menyakitkan hati. Meminjam pemikiran Herbart, jika pengusaha melakukan kejahatan (pengupahan), berarti telah menimbulkan ketidakpuasan kepada buruh. Oleh karena itu buruh harus diberi kepuasan dengan cara menindak dan memberikan sanksi hukum kepada pengusaha sehingga rasa puas buruh dapat dikembalikan. Apakah Jember berani mewujudkan hal ini ataukah justru menjadi sarang delusi ?
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Faklutas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember