Oleh: DR.Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Bukan hal baru lalulintas serentak padat merayap. Biasa, tiba waktu bulan Agustus. Lalu lalang kendaraan terhalang beragam kegiatan. Wajar karena euforia semangat memeriahkan hari kemerdekaan. Karnafal, aneka lomba dan sejenisnya menambah semarak pesta rakyat. Ada baris berbaris, diikuti karnafal. Tak ketinggalan barisan goyang pargoy meliuk gemoy. Sungguh memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Berkompetisi berdandan seksi. Tak peduli dengan sound sistem memekak telinga. Teriakan Merdeka terus menggema, meskipun lagu-lagu spirit kemerdekaan tak sampai ke telinga.
Memasuki ruas tol, bentang jarak Jember – Malang mulai sepi hiruk pikuk. Kecepatan kendaraan menjadi normal. Melaju dengan rasa aman. Di sela nikmatnya perjalanan, sekali lagi saya buka undangan untuk menguji promosi program doktor di universitas ternama almamater tercinta beberapa waktu lalu. Saya baca selayang pandang naskah disertasinya. Membahas soal hukum kodifikasi dalam kalangan praktek dan teori. Kaveling kajiannya hukum kolonial yang hingga kini masih digunakan di NKRI. Memori epistem tentang hukum kolonial muncul kembali. Menemukan persemaiannya di hari kemerdekaan RI.
Tujuh puluh sembilan tahun Indonesia merdeka. Namun hakikat kemerdekaan untuk lepas dari penggunaan produk hukum kolonial masih sebatas cita-cita. Peraturan perundang-undangan utama, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrechts/WvS), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek/BW), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Kophandeel/WvK) termasuk Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR) – Hukum Acara Perdata serta ratusan regulasi lain produk hukum kolonial di bawah undang-undang masih berlaku.
Terdapat kurang lebih 300-400 an sisa produk hukum kolonial yang berstatus hukum positif (berlaku). Justifikasi konstitusionalnya terdapat pada UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal I. Segala peraturan perundang-undangan yang ada (termasuk hukum kolonial) masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam PP 2 Tahun 1945.
Proklamasi merupakan momentum penjebolan tertib hukum kolonial menuju sistem hukum nasional. Artinya, proklamasi merupakan titik pijak kekuasaan dalam kerangka otoritas berhukum. Namun otoritas tersebut belum paripurna diwujudkan karena keterbatasan kemampuan membentuk hukum sebagai pengganti ragam peraturan produk kolonial. Tidak mudah untuk mengganti produk kolonial. Cukup banyak kendala dan realitas yang perlu dipertimbangan dengan menjunjung asas kecermatan, kehati-hatian sekaligus menghindari terjadinya kekosongan aturan. Penggantian itu mendesak untuk diwujudkan karena beberapa hal.
Pertama, produk hukum kolonial secara historis fungsional diberlakukan untuk kepentingan kolonial.Tidak berurat pada ubi societes, ibi ius (dimana ada masyarakat, di situ ada hukum) sebagaimana pemikiran Tulieus Cicero (106-45 SM). Hukum sebagai manifestasi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hukum memiliki otentisitasnya atas nilai-nilai yang membidani. Dalam tataran lebih luas, produk hukum kolonial tidak mencerminkan hukum nasional yang berorientasi cita hukum nasional berdasarkan Pancasila. Tidak adil, diskriminatif bahkan represif. Hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia dibuat dalam alur logika entitas yang a-Pancasilais. Dengan demikian penggunaan hukum kolonial dalam sistem hukum di Indonesia hingga kini pada dasarnya kontra ideologis.
Kedua, produk hukum kolonial yang berlaku sekarang adalah hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan kenyataan demikian secara dogmatik KUHP (WvK), KUH Perdata (BW) dan KUH Dagang (WvK) dalam perspektif teortis praktis merupakan hasil terjemahan yang secara normatif menjadi legal of authority (Hasil terjemahan yang berlaku sebagai undang-undang). Menyalahi kaidah pembentukan dan keberlakuan peraturan perundang-undangan dan menyimpangi karakter konstitusional sebagai landasan politik hukum.
Ketiga, dinamika sosial terus tumbuh dan berkembang. ‘Situation gebundenheit’ yakni keadaan menentukan pemikiran dan tindakan, demikian menurut Karl Menheim. Idealnya perubahan hukum mengikuti perubahan waktu, keadaan dan kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pokok ajaran yang dijadikan landasan hukum kolonial di negara asalnya sudah banyak berubah dan terkikis oleh peradaban dan waktu. Sementara hingga sekarang bangsa ini masih harmony dengan ajaran ajaran hukum yang sudah kehilangan relevansinya.
Dulu, pada masa 1945 hingga 1955 cukup banyak kalangan Meester in de Inderechten (Sarjana Hukum) memiliki kemampuan menerjemahkan pasal-pasal berdasarkan naskah asli bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Kemampuan semacam ini sangat kontributif dalam tataran praktis implementatif. Tahun 1955 sampai 1965 kemampuan praktisi dan teoritisi yang memiliki keahlian bahasa Belanda mulai berkurang. Apalagi waktu itu bahasa Belanda sudah tidak lagi menjadi kebutuhan utama memenuhi kurikulum fakultas hukum, sehingga kemampuan bahasa Belanda para sarjana hukum juga berkurang. Tahun 1965 hingga saat ini, praktis bahasa Belanda sudah tidak lagi diajarkan di kampus fakultas hukum. Praktisi, akademisi dan profesionalitas bidang hukum menjadi asing dengan bahasa Belanda.
Sementara aspek dogmatik teoritis peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional berafiliasi pada genus cultural Eropa. Kesenjangan antara teks, konteks dan kontekstualisasi hukum tidak bisa dihindari. Tidak heran jika dari sisi intepretasi luput dari maksud pembentuk peraturan perundang-undangan karena perspektif yang tidak sama atas realitas kontekstual di mana hukum dibuat dan diberlakukan. Pencari keadilan menjadi kurban.
Persoalannya, 79 tahun adalah kurun waktu yang tidak pendek. NKRI belum merdeka dari penggunaan produk hukum kolonial. KUHP baru telah ditanda-tangani secara resmi oleh Presiden, namun dalam Pasal 624 disebutkan akan diberlakukan pada tahun 2026. Praktis saat ini kita masih dalam belenggu KUHP produk kolonial. Pun juga demikian dengan upaya mengganti Hukum Acara Perdata produk kolonial. Naskah Akademik sudah disiapkan, namun hingga kini tak jelas jluntrungnya.
Jika diurai musabab alotnya rahim legislatif membidani produk pengganti hukum kolonial tentu saja dibutuhkan evaluasi komprehensif. Kepentingan politis, kurikulum pendidikan tinggi hukum, komitmen kampus, political will otoritas, metode dan beragam reasoning yang multi komplek patut dijadikan objek kajian guna menata ulang pembentukan peraturan perundang-undangan dalam upaya mengganti produk hukum kolonial.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung