Rabu, September 11, 2024
spot_img

DIKSI UPDATE

Antara Petahana, Gus Fawait dan Anang Hermansyah

Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.M.H.,C.Med *)

Pemilu sudah lewat. Penghitungan suara on proses, meskipun  sudah bisa ditebak outputnya. Soal ketidakpuasan yang melahirkan penilaian hingga hujatan adalah fakta. Pro-kontra memang anak kandung demokrasi. Ada euforia di balik rasa kecewa karena calonnya kalah. Unjuk rasa sekalipun, sah sah saja. Masyarakat pemilih di negeri ini masih dalam tataran konstituen baper (terbawa perasaan). Bisa ditebak, jika jagonya kalah menjadikan dirinya mager (malas gerak).  Rasa lebih mengedepan dibanding rasio. Biarkan pemilu dan dinamika gaungnya kian tenggelam  ditelan keadaan. Lantas apa yang kini seksi pasca pemilu ? Pilkada Jember. Demikian jawaban spontan dalam diskusi kecil di tengah komunitas penikmat ketan jompo malam itu.  Dialektika terus mengalir. Tak peduli hingar bingar lalulintas dan knalpot yang terus digeber. Maklum malam minggu.

Jika tema besarnya adalah Pilkada maka refleksi aktual yang muncul adalah Ayo Shalawat. Figurnya, Gus Fawait (GF). Orang mengelukan atas dasar realitas angka perolehan suara. Fantastis. Peringkat pertama jumlah dukungan untuk kursi DPRD Jatim. Jumlah 238.643 suara GF adalah representasi dapil Lumajang – Jember. Kabupaten Jember saja GF mengantongi 217.124  suara. Sementara historis Pentahana pada tahun 2020 dengan tiga pasang calon, mendapatkan 489.794 suara. Dengan asumsi jika yang maju waktu itu (2020) dua pasangan calon, bisa jadi perolehan Pentahana lebih dari 489.794 suara. Artinya, Ayo Ber-Shalawat masih menjadi hipotesis untuk menjemput takdir. Logikanya, jika 2024 Jember menampilkan dua pasangan calon, maka 489.794 suara yang diperoleh Pentahana 2020 adalah deposit meskipun probabilitas militansinya terbuka untuk berubah.

Ayo Shalawat yang identik dengan figur GF merupakan cermin kultural dalam tradisi nahdliyin. Secara angka, DPT pada Pemilu 2024 mencapai 1.997.449 orang. Laki laki 974.767 orang, selebihnya perempuan. Total jumlah DPT  tersebar di 7.706 TPS (rri.ci.id-22 Juni 2023). Dengan demikian, GF sebagai ‘The Rissing Star’ patut tidak keburu menepuk dada. Butuh fokus, kecermatan, kehati-hatian serta akurasi metode melakukan persuasif publik guna membangun trust potensi pemilih. Lebih dari itu juga tidak kalah penting, tantangan peran keaktoran yang harus dimainkan GF sebagai pribadi. Potret diri GF yang selama ini melekat dengan kesantunan dan rendah hati tidak cukup untuk dipanggungkan, namun hal itu menjadi strategis diwujudkan dalam aksi yang lebih metodis, konkrit dan institusional.  Jember bukan kota santri. Karakter sosiologis dan patron relasinya berbeda dengan Situbondo dan Bondowoso. Heterogenitas dan perubahan ‘ideologis’ per-detik, membuka kecenderungan selera pemilih Jember yang unpredictable (sulit ditebak). Merasa menang, adalah kekalahan awal pasangan calon siapapun yang hendak manggung.

Gerindra memang berhari raya. Menjadi juara mendominasi jumlah kursi di legislatif daerah. Karenanya guna mengantar pasangan calon tak butuh bermitra. Mayoritas dukungan suara pada Gerindra adalah fakta. Namun apakah mayoritas suara dimaksud secara serta merta adalah simpulan dukungan terhadap pasangan calon yang diusungnya ? Tak gampang untuk menjawabnya karena paradikma demokrasi telah berubah. ‘Eksperimen Gizi’ Jokowi memporak porandakan tesa – anti tesa yang ada sehingga kini melahirkan sintesa baru demokrasi yakni Demokrasi Gizi. Seolah, Visi Misi tak lagi urgen. Keindahan jargon tidak lagi menolong.

Petahana (P) bukanlah figur yang cerdas. Namun reputasi di lingkungan birokrasi manjadikan dia sebagai ‘penguasa’ handal yang logis dipertimbangkan.  Otoritas yang melekat sebagai pejabat merupakan alat efektif yang bisa difungsikan. Capital, mesin birokrasi, akses, relasi, sumber dana adalah modal konkrit. Semua  ada di tangannya. Sementara ‘gizi’ adalah paradikma memilih yang tak bisa diabaikan. Masyarakat di negeri ini, termasuk Jember adalah orang-orang yang menjunjung tinggi budaya salah dan malu. Ada  semacam tanggungjawab sebagai respon balik terhadap prestasi dalam bentuk pemberian, hadiah dan sejenisnya dari pihak lain. Apalagi pejabat birokrasi. Demokrasi Gizi akan melahirkan relasi prestasi dan kontraprestasi sebagai komitmen saling memberi. P selama satu periode menjabat mendapatkan relatif banyak prestasi. Namun demikian seorang P juga tidak bisa menghilangkan fakta-fakta kegagalan dan persoalan dalam rangka pelayanan publik. Akar kaki P konon telah teramputasi. Terbukti dengan lingkar kerabat yang gagal berproses menuju lembaga  legislasi daerah. Tak jelas apakah kegagalan berproses orang-orang sekitar linier dengan loyalitas aparatur di lingkungan birokrasi. Jember telah melahirkan preseden satu periode pada masa bupati F, sehingga keyakinan P untuk lancar melenggang  bukan jaminan.

Ketika Gerindra percaya diri untuk mandiri, realitas semacam ini merupakan peluang bagi partai pemenang lainnya. Terlepas dari jumlah suara yang diperoleh, partai peringkat di bawah Gerindra sangat mungkin melakukan kongsi. Opini strategis yang bisa diusung bukan ideologis dan akar tradisi, tetapi publik figur. Anang Hermansyah (AH) cukup hangat menjadi pembicaraan di kalangan elitis. Popularitasnya sebagai artis dengan gagasan besarnya di DPR-RI untuk membidani undang-undang tentang musik melengkapi jati diri dan idealismenya. Saat ini, medsos diwarnai dengan harapan agar AH pulang kampung. Tapi AH bukanlah robot. AH merupakan tipikal loyalis partai. Memiliki pribadi yang otentik. Dapil V Kabupaten Bogor tidak semata pilihan AH, namun hal itu adalah kebijakan partai untuk melakukan ekspansi suara.  AH dan GF memiliki kesetaraan akar popularitas di Jember. Bisa disandingkan, sebagai pasangan calon atau diposisikan untuk saling berkompetisi. Dengan tetap menjunjung asumsi objektif terhadap pentahana, maka keterlibatan AH dan GF dalam bursa pilkada kelak menjadikan kompetisi demokrasi tidak saja edukatif tetapi juga menguras adrenalin.

Namun jangan lupa demokrasi tidak cukup dengan fox populi fox dei (suara mayoritas adalah suara Tuhan) karena ungkapan itu telah kehilangan legitimasi nilainya digerus perkembangan yang tak gampang dikendalikan. Ada satu komponen yang selama ini tidak diperhitungkan orang karena dibalik kemenangan ada relasi kuasa yang bisa dimainkan untuk menikam pemenang. Apa itu? Tunggu opini saya berikutnya.

*) Penulis adalah Kolumnis, Akademisi Fakultas Hukum Unej, Ketua Dewan Pakar ICMI Daerah dan MD KAHMI Jember

Latest Posts

spot_img
spot_img

DIKSI POPULER

spot_img
spot_img

LANGGANAN DIKSI

Menyajikan informasi terkini dan Up to Date silakanan langganan berita kami Gratis.