Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med *)
Politik Uang’ itu bukan istilah hukum. Tak satupun undang-undang melansir istilah politik uang. Politik uang menjadi populis jelang Pemilu atau Pilkada. Konon, politik uang sebagai toxic demokrasi. Mengotori sistem. Menciderai nurani. Menutup kehendak. Membelokkan aspirasi. Politik uang merupakan template demokrasi kini. Transaksional sebagai kelajiman lima tahunan.
Politik uang merupakan realitas peradaban. Mewarnai dinamika bernegara. Sulit dibendung. Orang bicara politik uang dengan sebutan Money Politik. Sementara kamus transaksional menamakan dengan istilah NPWP (Nomer Piro Wani Piro). Tak heran jika muncul diksi Tongket (setong seket) sebagai bandrol. KPK juga mengkampanyekan Mahar Politik dengan sebutan ‘Serangan Wajar’. Jargonnya ‘Hajar Serangan Fajar’.
Beragam istilah soal politik uang merupakan indikasi. Tak bisa dipungkiri sebagai fakta dalam tradisi demokrasi. Demokrasi telah mewujud menjadi pasar transaksi. Objek jual belinya jelas. Suara. Masyarakat sebagai penjual sedangkan capres, caleg, cagup, cabup, cawalikota potensi membeli. Ada kemasan dan etalase, dibalut persuasif iklan. Menjanjikan bahkan acapkali juga mengecewakan. Kualitas calon menjadi nomor sekian.
‘Perangi Politik Uang’. ‘ Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya ’. Beragam slogan penolakan adalah ungkapan setengah hati. Menegasikan logika kepentingan. Melawan realitas sosial. Politik uang berurat pada budaya. Cermin menjunjung adab. Refleksi tahu diri. Cenderung mengedepankan rasa terimakasih atas relasi saling memberi. Dalam ranah akademik terdapat Norm of Reciprocity atau Norma Timbal Balik. Dikembangkan oleh Ayn Rand. Dikenal dengan sebutan Etika Ayn Rand. Konsepnya sederhana. Membalas dengan perbuatan setimpal atas pemberian orang adalah kewajiban moral. Ranah moral tentu di atas norma. Mengalir sebagai inspirasi. Menjadi aksi tanpa perintah otoritas. Spontan. Moralitas adalah nilai absolut.
Keberadaannya tidak mudah diintervensi aturan. Apapun aturan itu.
Dengan kata lain, Etika Ayn Rand melandasi penegasan aksi sebagai etika balas budi. Interaksi diwarnai saling balas. Konsistensi bekerjasama lebih dikedepankan. Landasan keyakinannya, ketahanan hidup diperoleh dari bekerjasama. Gotong royong. Saling meringankan. Berbeda dengan komunitas egois. Tinggal dalam gua. Tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Tidak bisa bertahan. Akhirnya mati. Etika Ayn Rand merupakan konsensus. Dijustifikasi nilai sebagai atmosfir interaksi hidup dan kehidupan.
Berdasarkan Norma Timbal Balik, dapat dipahami bahwa politik uang menemukan objektifitasnya. Bagi Ayn Rand setiap aksi terikat pada etika balas budi. Semua prilaku lekat dengan self interest (kepentingan pribadi). Menegasikan altruisme sebagai sikap berkorban untuk orang lain. Altruisme tidak memiliki wahana persemaian dalam ranah politik demokrasi di NKRI. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Politik Uang adalah etika itu sendiri. Tanpa dikomunikasikan masyarakat sudah mengerti. Konsekuensi timbal balik untuk memilih atau tidak, bukan isu strategis. Ketika elitis itu terpilih, persepsi masyarakat memposisikan bahwa mereka bergelimang uang. Surplus kuasa.
Apakah politik uang itu mendapatkan pembenaran ? Filsafat barat telah membongkar jawabannya.
Dalam ranah etis, terdapat dua kutub perbuatan baik dan buruk. Deontology dan consequentialism. Deontology membingkai ukuran baik atas latar belakang kewajiban berbuat. Mengorbankan kepentingan pribadi. Berkeyakinan akan membawa kemajuan peradaban. Altruisme ditumbuhkan. Seperti lilin yang membakar dirinya. Pemikiran ini dikembangkan oleh August Comte. Sedangkan Consequentialism berangkat dan berorientasi pada hasil. Ukuran baik jika menghasilkan keuntungan bagi dirinya. Pemikiran Ayn Rand adalah esensi Consequentialism. Memikirkan kepentingan pihak lain tanpa kompensasi sungguh tidak rasional. Inilah objektifitas menurut Ayn Rand.
Komitmen saling menguntungkan meski bersifat spekulatif merupakan relasi dalam politik uang. Berakar pada norma timbal balik sebagai manifestasi dari consequentialism. Moralitas tak lebih sebagai kepentingan itu sendiri. Dengan kata lain, ketika masyarakat mengambil keputusan atas relasi yang telah dibuat, tentu saja aksi dimaksud memiliki sandaran moral. Etis dan moralis. Bersifat kontraktual dan privat. Saling mengkompromikan integritas dan menerima resiko atas materi kesepakatan. Tak heran pada tahun 2019 LIPI melakukan survey. Hasilnya, 83 persen responden politik uang mempertimbangkan pemberian uang, barang, atau jasa dari calon legislatif atau partai politik yang mereka terima saat memilih.
Secara normatif politik uang diatur dalam beragam perundang-undangan. Bahkan
KUHP menentukan sanksi cukup berat. Pasal 149 KUHP memberikan ancaman sembilan bulan penjara. Seharusnya pasal ini efektif guna meredam politik uang. Tapi sayang, KUHP tak bsa digunakan. Terkendala asas lex spesialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan hukum umum). KUHP dalam hal ini adalah aturan umum (general). UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) bersifat khusus (spesialis). Dengan demikian perihal politik uang tunduk pada UU Pemilu.
Jika politik uang lolos dari KUHP, apakah politik uang bisa dikategorikan suap ? UU No.11 Tahun 1980 yang melarang suap-pun tak bisa digunakan. Problemnya pada aspek pembuktian. Bila inisiatif suap berasal dari penerima / peminta, secara hukum tidak bisa diketegorikan penyuapan. Suap dan politik uang merupakan hal berbeda. Penerima suap selaku otoritas pengambil keputusan instansional, sedangkan penerima uang / barang dalam poitik uang adalah masyarakat.
Politik uang dalam UU Pemilu diatur pada pasal Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523. Intinya melarang pasangan calon dan caleg semua tingkatan, termasuk tim kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya. Tujuannya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih. Pelanggaran akan dikenai sanksi paling lama 4 tahun dan denda maksimal 36 juta. Sanksi lainnya berupa pembatalan dari daftar calon tetap atau calon terpilih. Problemnya, politik uang dalam rezim pemilu secara normatif hanya menjerat pemberi. Bukan penerima. Kalaupun pemberi tertangkap, juga tidak gampang menjerat aktor dibalik pemberian itu. Korlap biasanya dikorbankan dalam hal ini. Apalagi pemberian tersebut tidak sebatas nominal kasat mata. Terus berkembang berbagai modus guna mensiasati politik uang. Pemberian juga dalam bentuk non barang. Semakin halus, sopan dan tajam. Memberikan manfaat konkrit bagi masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa politik uang itu complicated. Tidak hanya soal hitam putih aturan, tetapi budaya, kemandirian masyarakat, konsistensi APH, dan kesungguhan pelaksana hukum. Lantas, apakah anda yakin jika politik uang dapat dilibas dengan harapan tercipta demokrasi yang berasas ? Sebagian menjawab optimis, sementara orang pesimis. Tapi saya sendiri determinis.
*) Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember